MENELADANI NABI
IBRAHIM AS
Oleh; Ust. Yahya, S.Ag
S
|
ebagaimana kita
tahu, hari Raya ‘Idul Adha
berkaitan dengan ibadah haji. Hari raya dalam Islam mempunyai dua makna yang
sangat penting untuk menjadi renungan bersama yaitu makna kemanusiaan dan makna
ilahiyah. Makna kemausiaan terlihat dari ajaran Islam kepada muslim untuk tidak
melupakan saudara kita yang lain tatkala kita bersenang-senang merayakan hari
raya sedangkan
disana banyak saudara kita yang kesusahan dalam mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Sedangkan makna ilahiyah tergambar dari perayaan hari
raya pasca pelaksanaan ibadah. Lihatlah hari raya ini dibuka dengan takbir,
tahlil, tasbih dan tahmid kepada Allah SWT dan sholat dan dilanjutkan dengan
menyembelih hewan kurban.
Hari raya Idul Adha berkaitan erat
dengan ibadah haji. Haji adalah ibadah agung yang secara literal bermakna bermaksud
(berkeinginan dan sengaja), sementara maksud dan niat, keduanya menghantarkan
seseorang menuju cita-cita, niat adalah amal yang paling mulia karena ia adalah
pekerjaan anggota yang paling mulia yaitu hati. Hanya mereka yang mempunyai "istitho’ah" yang melaksanakannya. "Istitho’ah" adalah menjawab panggilan Allah dan istitho’ah adalah
kemampuan untuk melaksanakannya meski terasa berat. Faktanya banyak orang yang
mampu tapi belum terpanggil dan mau melaksanakannya meski harus melalui
kesulitan
Thowaf mengelilingi ka’bah bukanlah
maksud dan tujuan, tetapi tujuannya adalah pemilik ka’bah. Mencium hajar aswad
bukan menyembah batu melainkan taat
kepada sunnah rosul. Hajar Aswad ibarat
tangan kanan Allah, begitu ibnu Abbas
menegaskan, sehingga ketika menyentuh seakan para haji sedang menyalami dan
berbaiat pada Allah SWT.
Selain itu, perhatian kita pada bulan ini tidak hanya tertuju kepada
ibadah haji saja, tetapi juga tertuju kepada sebuah peristiwa agung yang
menggambarkan sosok teladan, bapak para nabi dan sekaligus bapak monotheisme
dalam pandangan sementara masyarakat modern sekarang.
Sosok teladan yang seharusnya menjadi panutan kita selain junjungan kita
nabi Muhammad SAW.
Kalimat menjadikan uswah, teladan dan
figur bukan tanpa konskuensi. Sebagian masyarakat muslim mengelu-elukan dan
mengidolakan serta menjadikan seseorang menjadi figur mereka, namun dalam
praktiknya tidak, betapa tidak? Mereka tidak pernah mencontoh sang figure dalam
sikap, perilaku dan pola pikir, atau mencontoh sebagian saja darinya, itupun
kadang yang mudah dan enak-enak saja.
Hal-hal yang yang harus dimiliki oleh sang pengidola -sebagaimana QS S.Al
Ahzab ayat 21 mengaskan- yaitu yang harus selalu kita harapkan adalah ridlo,
pahala, dan pertemuannya dengan Allah semata, selalu memohon kepadaNya atas
keselamatan dan kesuksesan hidup di akhirat nanti dan selalu mengingat kepada
Allah SWT kapanpun dan dimanapun kita berada..
Dalam rangka menunaikan dan menuju
kepada misi itulah kita meneladani sosok uswah kita. Al Qur’an menggambarkan
sosok teladan Nabi Ibrahim sebagai berikut:
Pertama, Kritis dalam mencari dan menerima kebenaran. Generasi Ibrahim tidak larut
dalam arus mayoritas yang memang salah, pandai memisahkan yang haq dan batil
untuk selanjutnya memilih yang haq dan meninggalkan yang batil. Kriteria ini
tampak jelas digambarkan oleh Al qur’an tatkala nabi Ibrahim mencari Tuhan
dengan mengatakan kepada bapaknya (QS. al An’am:74)
واذ قال ابراهيم لآبيه أزر أتتخذ
أصناما ألهة انى أراك و قومك فى ضلال مبين
Proses pencarian Tuhan sejati oleh nabi
Ibrahim adalah bukti nyata bahwa beliau adalah seseorang yang secara kritis
dalam mencari dan menerima kebenaran, beliau tidak larut dalam paganisme yang
menjadi trend pada masa itu. Beliau tidak serta merta menerima keyaknan mayoritas
tanpa menganalisa, bertabayyun bahkan bereksperimen.
Kedua, Sikap dan perilaku yang menyatu dengan ajaran Islam, sehingga terlepas
dari segala macam bentuk kesyirikan dan kekufuran. Sikap ini menjadikan
generasi Ibrahim tidak mungkin suka dan senang kepada segala bentuk kemaksiatan
dan dosa sebagai cerminan dari sikapnya terhadap kekufuran. Beliau sangat tegas
dalam memberikan loyalitasnya kepada Allah semata (QS. al Mumtahanah:4). Dan
sebagai konskuensi logis dari loyalitas itu muncul keloyalan kepada mereka yang
menjadi pemimpin yang loyal kepada Allah.
قد كانت لكم أسوة حسنة فى ابراهيم
و الذين معه اذ قالوا لقومهم انا براء منكم و مما تعبدون من دون الله
Ketiga, memiliki kebanggaan sebagai muslim
sehingga dia selalu menunjukkan identitasnya sebagai muslim dimanapun dan
kapanpun mereka berada.
Islam adalah agama samawy yang relevan
dimana dan kapanpun Islam berada. Mengapa kita tidak bangga disebut sebagai muslim, meski dalam faktanya
Islam kadang tertutup oleh diri kita atau kadang kita sengaja menutupinya. Kita
belum mampu menampakkan wajah nan indah, ramah, penyantun, dan penuh rahmat.
Keempat,
Memiliki ilmu yang banyak sehingga mereka bisa meraih prestasi yang tinggi dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan
Ilmu
telah menjadi symbol kemajuan dan kejayaan suatu bangsa. Islam adalah agama yang erat hubungannnya dengan ilmu pengetahuan. Lihatlah
wahyu pertama yang turun kepada nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca.
Perintah membaca berulangkali disebut oleh al Qur’an. Bahkan secara tegas al
Qur’an juga menyindir mereka yang tidak mau menggunakan akalnya. Bahkan yang
lebih mencengangkan adalah fakta-fakta ilmiah yang diungkap olehnya sejak 14
abad yang lalu yang baru diketahui oleh manusia modern atau bahkan yang belum
berhasil diungkap.
Generasi Ibrahim adalah generasi yang seharusnya cerdas, bukan bergelimang
kebodohan yang menjadi lambang kejumudan. Bukankah jika kita menginkan
kehidupan yang baik di dunia dan akhirat harus dengan ilmu sebagaimana
ditegaskan oleh junjungan kita nabi Muhammad SAW?
Kelima, Kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi
rintangan dalam memperjuangkan yang haq. Nabi Ibrahim dalam perjuangannya siap untuk
diusir dari nagerinya, dibenci, dan siap
dibakar (QS. Ash Shoofat:93-97) dan (QS. Al-Anbiya’:68-69)
Sabar dalam taat kepada Allah, sabar
dalam menjauhi kemaksiatan dan dosa serta sabar dalam menghadapi rintangan dan
musibah harus kita tanamkan dalam diri kita generasi Ibrahim. Sabar dalam makna
aktif adalah sabar dan tabah dalam menghadapi segala ujian dan musibah seraya
bangkit dengan usaha yang sungguh-sungguh dari keterpurukan. Barangkali bangsa
ini harus mempunyai bentuk kesabaran aktif ini dan menjadikan sabar sebagai
penolong disamping sholat dalam menghadapi segala ujian dari Allah sehingga
mampu bangkit dan lepas dari kerusakan yang telah terjadi hampir di seluruh
sektor kehidupan ini.
Keenam, Berani berkorban demi kepentingan Islam
dan umatnya.
Nabi Ibrahim telah memberikan contoh berkorban
yang baik. Berkorban dengan segala sesuatu yang beliau miliki. Berkorban dengan
meninggalkan tanah airnya, tanah kelahirannnya demi memenuhi panggilan Allah (QS.
Ash-shoffat :99). Berkorban dengan nyawanya di tengah kobaran api yang
membakarnya karena beliau menghancurkan patung-patung raja Namrud (QS. al-Anbiya’:69).
Dan bahkan beliau berkorban dengan yang paling beliau cintai yaitu anaknya (QS. Ash-shoffat:102)
Berkorban itu secara mutlak dalam hidup
ini. Tidak ada manusia yang hidup sejahtera tanpa pengorbanan. Tidak ada
pemimpin yang berbuat adil jika dia tidak rela berkorban. Tengoklah kholifah
Zainal Abidin seperti yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq yang rakyatnya terpenuhi
kebutuhan makannya sehari-hari karena setiap pagi mereka menemukan sekarung
gandum ada di depan pintu mereka. Pada detik-detik terakhir kematian sang
kholifah, mereka tidak lagi menemukan sekarung gandum tersebut. Masyarakat
kaget, bukan karena kehilangan gandum, tapi kaget karena melihat dan mendengar
punggung sang kholifah yang lecet dan kapalan yang menunjukkan kerja keras
beliau dalam mengangkat sendiri karung-karung gandum itu tiap malam. Berkorban
haruslah abadi, bukan dibatasi oleh waktu dan suasana tertentu. Berkorban
bukanlah untuk mengharapkan balasan yang lebih besar. []
0 komentar:
Posting Komentar