Oleh Bapak H Agus Ahmad Su'aidi, Lc., MA
Pemilu merupakan suatu prosedur politik yang dilakukan untuk
menghindari bentuk-bentuk konflik akibat benturan hasrat antarindividu untuk
berkuasa (will to power) yang sulit
dihindari. Sebuah adagium menyatakan, “War
begins when politics ends”. Tanpa adanya prosedur politik ini, maka
konfilk, kekerasan, bahkan perang akan se
ring terjadi mengiringi perebutan
kekuasaan antarmanusia. Kehidupan yang
tidak stabil ini tentu akan mengakibatkan tidak saja terganggunya
penyelenggaraan urusan dunia, namun juga urursan agama. Dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan
karya lainnya, imam Al-Ghazali menyatakan bahwa baik keteraturan
dunia maupun agama tidak dapat diperoleh kecuali dengan adanya pemimpin yang
ditaati.
Hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan
urusan dunia sudah sangat jelas. Sedangkan hubungannya dengan urusan agama
adalah bahwa umat beragama wajib menjalankan ajaran agamanya. Untuk menjalankan
kewajiban tersebut, diperlukan rasa aman dan keterlindungan atas diri dan
segala properti yang dimiliki. Tugas mengamankan dan melindungi tentu saja
dibebankan pada pemimpin melalui aparaturnya. Dengan demikian, tanpa adanya
pemimpin maka tidak ada aparatur, dan tanpa ada aparatur, maka keamanan dan
ketertiban umum sulit terwujud sehingga penyelenggaraan ibadah atau urusan
agama pun tidak dpat dilakukan dengan baik.
Partisipasi Rakyat Dalam Pemilu
Seorang pemimpin harus memiliki
keabsahan atau legitimasi yang cukup tinggi agar dapat menjalankan otoritasnya
dan ditaati rakyat. Untuk memperoleh
pemimpin yang ditaati atau legitimate
inilah perlu dilakukan pemilihan yang melibatkan sebanyak mungkin warga atau
rakyat. Itulah demokrasi, sebuah sistem yang sebenarnya buruk kecuali jika
dibandingkan dengan sistem yang lain. Ia
buruk karena sangat membebani keuangan negara, bertele-tele, dan celakanya
belum tentu menghasilkan pemimpin ideal. Demokrasi hanya memberikan sebuah
harapan yakni munculnya pemimpin yang legitimate.
Pemilu yang memenuhi norma-norma
hukum dan akhlaklah yang dapat menjamin idealitas pemimpin itu. Pemilu yang demokratis mengandaikan suatu
logika bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi
warga dalam memimilih, semakin kuat pula legitimasi pemimpin terpilih.
Aparaturnya pun akan diataati rakyat sehingga tertib sosial dapat
terwujud.
Pakar dan penulis kitab al-ahkam al-sulthaniyyah atau
hukum-hukum politik Islam, al-Imam al-Mawardi, memang membantah keharusan
keterlibatan mayoritas pemilih dalam pengangkatan pemimpin (nashb al-imamah).
Beliau berargumentasi bahwa jurisprudensi Islam dalam suksesi kepemimpinan
sepanjang masa al-khilfahah al-rasyidah tidak pernah melibatkan mayoritas pemilih.
Namun kondisi istimewa saat itu sangat jauh berbeda dari kondisi saat ini.
Sedangkan dalam perumusan hukum terdapat pandangan yang menyatakan bahwa hukum
- yang lahir dari ijtihad, bukan nash - bisa
berubah seiring dengan perubahan zaman.
Pada masa awal Islam, integritas
moral dan kualitas kepemimpinan para tokoh umat sangat tinggi dan sangat
dipercaya. Dalam kondisi demikian ini, keterwakilan aspirasi melalui seorang
atau beberapa figur saja sudah cukup memadai hingga tidak diperlukan pelibatan umat
secara langsung. Hal ini dibuktikan dengan penerimaan dan ketaatan umat pada
para al-khulafa’ al-rasyidah yang diangkat baik melalui penunjukan
pemimpin pendahulu seperti yang terjadi pada khalifah Umar Ibn Khatthab maupun yang dipilih oleh hanya beberapa orang
yang tergabung dalam ahlul halli wa
al-aqdi seperti yang terjadi pada Utsman Ibn Affan.
Adapun saat ini, ketika
integritas moral dan jiwa kepemimpinan seseorang relatif rata –untuk tidak
mengatakan rendah – proses
pemilihan yang tidak melibatkan sebanyak mungkin pemilih bisa jadi akan
menghasilkan pemimpin (dan wakil rakyat) yang minim legitimasi. Kondisi
demikian ini cenderung mengundang instabilitas sosial politik seperti
pemakzulan pemimpin yang dapat terjadi sewaktu-waktu atau setidaknya gelombang people disobedience. Ahlussunah wal
jama’ah dalam hal pelibatan umum ini berbeda dengan Syi’ah. Yang disebut
terakhir ini tidak memandang adanya urgensi hal itu sama sekali karena pemimpin
itu –masih menurut Syi’ah – ditunjuk oleh nash atau teks agama dan
dengan demikian memiliki karakter ‘ishmah (infallability) atau
tidak mungkin melakukan kesalahan. Gagasan Ahlussunnah lebih dekat dengan
gagasan demokrasi dalam hal memandang manusia secara egaliter yang
berkonsekuensi logis pada keharusan adanya proses pemilihan pemimpin oleh
rakyat apalagi pada masa absennya kualitas pribadi yang menonjol seperti zaman
ini.
Kriteria Pemimpin dan Pemilih
Islam tidak pernah mematikan
hasrat alamiah manusia tetapi mengatur dan menyediakan saluran yang baik demi
kemuliaan manusia sendiri. Maka hasrat makan, minum, seks, dan berkuasa yang
notabene juga dimiliki binatang itu diakomodasi dan
diatur dalam karangka hukum dan etika. Tujuannya adalah supaya dalam pemenuhan
hasrat-hasrat itu tidak melahirkan
kedhaliman satu pihak terhadap yang lain seperti yang terjadi pada dunia
binatang. Berkenaan dengan pengaturan hasrat berkuasa inilah hukum Islam
mencanangkan kriteria-kriteria dua pihak yang terlibat dalam menentukan calon
pemimpin. Kedua pihak itu adalah ahl al- imamah atau calon pemimpin dan ahl
al-ikhtiyar atau warga pemilih. Pencanangan kriteria ini dilakukan untuk memastikan tujuan dari kepemimpinan itu
tercapai yaitu menjaga agama dan mengatur sebaik mungkin urusan dunia (harasat al-din wa siyasat al-dunya) yang
tidak lain adalah kelanjutan tugas kenabian. Komitmen seorang calon pemimpin
(dan calon wakil rakyat) terhadap nilai-nilai agama serta kejelasan visi dan
misinya dalam penyelenggaraan negara – dengan demikian – sangat penting
diketahui oleh para pemilih sebagai pertimbangan dalam menentukan pilihan.
Secara detail, Imam al-Mawardi
menyebut kriteria-kriteria ahl al-imamah
(calon pemimpin) sebagai berikut ; (1) adil, (2) berilmu, (3) sehat, (4) lengkap indranya (telinga, mata
dan lesan), (5) sehat organ tubuh dari kecacatan, (6) berwawasan luas, dan (7)
berani dan berjiwa ksatria. Jika dianalisis, maka kriteria-kreiteria tersebut
menyentuh empat ranah kualifikasi, yaitu integritas moral, kecakapan intelektual,
dan kesehatan fisik dan mental. Sedangkan bagi ahl al-ikhtiyar atau
para pemilih, beliau menyebut tiga syarat yaitu : (1) keadilan, (2) memiliki
akses untuk mengenali orang yang berhak menjadi pemimpin, dan (3) memiliki
kecerdasan dan kearifan untuk memilih
pemimpin yang paling utama ketika terdapat beberapa calon.
Pemilu hampir selalu menghadirkan banyak calon pemimpin.
Diharapkan mereka yang mencalonkan diri itu akan tersaring lewat preferensi
pemilih. Dalam bahasa al-Mawardi, yang harus diprioritaskan adalah calon yang
paling utama dan paling memenuhi syarat (aktsaruhum fadhlan wa akmaluhum
syuruthan). Hal itu bisa diketahui melalui rekam jejak mereka dan
kualifikasi (akademik, relijius, moral, dan lain-lain) yang mereka
milliki. Sekedar popularitas (media
darling), – lebih-lebih kemampuan
membeli suara – adalah nonfaktor dalam hal kepemimpinan ini. Maka tepat sekali
jika syarat kedua dari ahl al-ikhtiyar adalah adanya akses untuk
mengenal calon yang hendak dipilih. Jangan sampai memilih seperti membeli
kucing dalam karung.
Itulah mengapa syarat ‘adalah dan syarat akses untuk
mengenali calon dilengkapi dengan syarat ketiga yaitu kecerdasan dan kearifan
untuk memilih yang benar-benar paling pantas. Kecerdasan di sini terkait dengan
pemahaman dan pengetahuan sesorang mengenai maksud dan tujuan pemilihan
dilakukan. Sedangkan kearifan
berlandaskan sikap ‘adalah tadi. ‘Adalah sering dilawankan dengan
fusuq. ‘Adalah merupakan integritas moral sedangkan fusuq adalah
setiap sikap yang masuk dalam kategori dosa.
Dengan mencermati syarat ini maka di satu sisi
pemilih wajib menentukan pilihan atas
dasar pemahaman akan tujuan pemilihan yang penuh kebaikan, yaitu harasat al-din wa siyasat al-dunya seperti
disebut di atas. Di sisi lain, ia harus menghindari setiap motif kotor atau dosa
misalnya uang (politics money) yang termasuk dalam kategori risywah
atau sogokan yang baik pelaku dan penerimanya diancam dengan neraka oleh
Rasulullah SAW.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, kita sebagai ahl al-ikhtiyar
pertama-tama harus menilai diri sendiri terlebih dahulu apakah kita pemilih
yang ‘adil atau bukan. Jika kita cenderung fasiq, maka lebih baik
kita golput karena pemilih fasiq tentu akan memilih calon yang fasiq
pula. Namun jika kita adalah pemilih yang ber’adalah, hendaknya kita
gunakan hak kita untuk memilih calon yang kita harapkan mampu menjaga agama dan
mengatur dunia kita sebaik-baiknya. Jika orang-orang yang ‘adil tidak
menggunakan haknya maka yang akan memanfaatkan kesempatan ini adalah mereka
yang fasiq.
Ketidaksempurnaan calon-calon pemimpin bukan penghalang untuk tetap memilih karena
di antara mereka pasti ada yang paling
sedikit kekurangannya. Bahkan meskipun kita tidak yakin calon-calon itu dapat
membuat perubahan positif di masa depan, sebuah harapan sudah merupakan alasan
yang cukup untuk berpartisipasi dalam pemilu kali ini. (fik)
0 komentar:
Posting Komentar