4/07/2014

Partisipasi Dalam Pemilu


Oleh Bapak H Agus Ahmad Su'aidi, Lc., MA
Pemilu merupakan suatu prosedur politik yang dilakukan untuk menghindari bentuk-bentuk konflik akibat benturan hasrat antarindividu untuk berkuasa (will to power) yang sulit dihindari. Sebuah adagium menyatakan, “War begins when politics ends”. Tanpa adanya prosedur politik ini, maka konfilk, kekerasan, bahkan perang akan se
ring terjadi mengiringi perebutan kekuasaan antarmanusia. Kehidupan yang  tidak stabil ini tentu akan mengakibatkan tidak saja terganggunya penyelenggaraan urusan dunia, namun juga urursan agama. Dalam al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan karya lainnya, imam Al-Ghazali menyatakan bahwa baik keteraturan dunia maupun agama tidak dapat diperoleh kecuali dengan adanya pemimpin yang ditaati.
 Hubungan antara kepemimpinan dan keteraturan urusan dunia sudah sangat jelas. Sedangkan hubungannya dengan urusan agama adalah bahwa umat beragama wajib menjalankan ajaran agamanya. Untuk menjalankan kewajiban tersebut, diperlukan rasa aman dan keterlindungan atas diri dan segala properti yang dimiliki. Tugas mengamankan dan melindungi tentu saja dibebankan pada pemimpin melalui aparaturnya. Dengan demikian, tanpa adanya pemimpin maka tidak ada aparatur, dan tanpa ada aparatur, maka keamanan dan ketertiban umum sulit terwujud sehingga penyelenggaraan ibadah atau urusan agama pun tidak dpat dilakukan dengan baik.

Partisipasi Rakyat Dalam Pemilu
Seorang pemimpin harus memiliki keabsahan atau legitimasi yang cukup tinggi agar dapat menjalankan otoritasnya dan ditaati rakyat.  Untuk memperoleh pemimpin yang ditaati atau legitimate inilah perlu dilakukan pemilihan yang melibatkan sebanyak mungkin warga atau rakyat. Itulah demokrasi, sebuah sistem yang sebenarnya buruk kecuali jika dibandingkan dengan sistem yang lain.  Ia buruk karena sangat membebani keuangan negara, bertele-tele, dan celakanya belum tentu menghasilkan pemimpin ideal. Demokrasi hanya memberikan sebuah harapan yakni  munculnya pemimpin yang legitimate.
Pemilu yang memenuhi norma-norma hukum dan akhlaklah yang dapat menjamin idealitas pemimpin itu.  Pemilu yang demokratis mengandaikan suatu logika bahwa  semakin tinggi tingkat partisipasi warga dalam memimilih, semakin kuat pula legitimasi pemimpin terpilih. Aparaturnya pun akan diataati rakyat sehingga tertib sosial dapat terwujud.  
Pakar dan penulis kitab al-ahkam al-sulthaniyyah atau hukum-hukum politik Islam, al-Imam al-Mawardi, memang membantah keharusan keterlibatan mayoritas pemilih dalam pengangkatan pemimpin (nashb al-imamah). Beliau berargumentasi bahwa jurisprudensi Islam dalam suksesi kepemimpinan sepanjang  masa al-khilfahah al-rasyidah tidak pernah melibatkan mayoritas pemilih. Namun kondisi istimewa saat itu sangat jauh berbeda dari kondisi saat ini. Sedangkan dalam perumusan hukum terdapat pandangan yang menyatakan bahwa hukum - yang lahir dari ijtihad, bukan nash bisa berubah seiring dengan perubahan zaman. 
Pada masa awal Islam, integritas moral dan kualitas kepemimpinan para tokoh umat sangat tinggi dan sangat dipercaya. Dalam kondisi demikian ini, keterwakilan aspirasi melalui seorang atau beberapa figur saja sudah cukup memadai hingga tidak diperlukan pelibatan umat secara langsung. Hal ini dibuktikan dengan penerimaan dan ketaatan umat pada para al-khulafa’ al-rasyidah  yang diangkat baik melalui penunjukan pemimpin pendahulu seperti yang terjadi pada khalifah Umar Ibn Khatthab  maupun yang dipilih oleh hanya beberapa orang yang tergabung dalam ahlul halli wa al-aqdi seperti yang terjadi pada Utsman Ibn Affan.
Adapun saat ini, ketika integritas moral dan jiwa kepemimpinan seseorang relatif rata –untuk tidak mengatakan rendah – proses pemilihan yang tidak melibatkan sebanyak mungkin pemilih bisa jadi akan menghasilkan pemimpin (dan wakil rakyat) yang minim legitimasi. Kondisi demikian ini cenderung mengundang instabilitas sosial politik seperti pemakzulan pemimpin yang dapat terjadi sewaktu-waktu atau setidaknya gelombang  people disobedience. Ahlussunah wal jama’ah dalam hal pelibatan umum ini berbeda dengan Syi’ah. Yang disebut terakhir ini tidak memandang adanya urgensi hal itu sama sekali karena pemimpin itu –masih menurut Syi’ah – ditunjuk oleh nash atau teks agama dan dengan demikian memiliki karakter ‘ishmah (infallability) atau tidak mungkin melakukan kesalahan. Gagasan Ahlussunnah lebih dekat dengan gagasan demokrasi dalam hal memandang manusia secara egaliter yang berkonsekuensi logis pada keharusan adanya proses pemilihan pemimpin oleh rakyat apalagi pada masa absennya kualitas pribadi yang menonjol seperti zaman ini.

Kriteria Pemimpin dan Pemilih
Islam tidak pernah mematikan hasrat alamiah manusia tetapi mengatur dan menyediakan saluran yang baik demi kemuliaan manusia sendiri. Maka hasrat makan, minum, seks, dan berkuasa yang notabene  juga dimiliki binatang itu diakomodasi dan diatur dalam karangka hukum dan etika. Tujuannya adalah supaya dalam pemenuhan hasrat-hasrat itu  tidak melahirkan kedhaliman satu pihak terhadap yang lain seperti yang terjadi pada dunia binatang. Berkenaan dengan pengaturan hasrat berkuasa inilah hukum Islam mencanangkan kriteria-kriteria dua pihak yang terlibat dalam menentukan calon pemimpin. Kedua pihak itu adalah ahl al- imamah atau calon pemimpin dan ahl al-ikhtiyar atau warga pemilih. Pencanangan kriteria ini dilakukan  untuk memastikan tujuan dari kepemimpinan itu tercapai yaitu menjaga agama dan mengatur sebaik mungkin urusan dunia (harasat al-din wa siyasat al-dunya) yang tidak lain adalah kelanjutan tugas kenabian. Komitmen seorang calon pemimpin (dan calon wakil rakyat) terhadap nilai-nilai agama serta kejelasan visi dan misinya dalam penyelenggaraan negara – dengan demikian – sangat penting diketahui oleh para pemilih sebagai pertimbangan dalam menentukan pilihan. 
Secara detail, Imam al-Mawardi menyebut kriteria-kriteria ahl al-imamah (calon pemimpin) sebagai berikut ; (1) adil, (2) berilmu, (3) sehat, (4) lengkap indranya (telinga, mata dan lesan), (5) sehat organ tubuh dari kecacatan, (6) berwawasan luas, dan (7) berani dan berjiwa ksatria. Jika dianalisis, maka kriteria-kreiteria tersebut menyentuh empat ranah kualifikasi, yaitu integritas moral, kecakapan intelektual, dan kesehatan  fisik dan mental.  Sedangkan bagi ahl al-ikhtiyar atau para pemilih, beliau menyebut tiga syarat yaitu : (1) keadilan, (2) memiliki akses untuk mengenali orang yang berhak menjadi pemimpin, dan (3) memiliki kecerdasan dan kearifan untuk  memilih pemimpin yang paling utama ketika terdapat beberapa calon.
Pemilu hampir selalu menghadirkan banyak calon pemimpin. Diharapkan mereka yang mencalonkan diri itu akan tersaring lewat preferensi pemilih. Dalam bahasa al-Mawardi, yang harus diprioritaskan adalah calon yang paling utama dan paling memenuhi syarat (aktsaruhum fadhlan wa akmaluhum syuruthan). Hal itu bisa diketahui melalui rekam jejak mereka dan kualifikasi (akademik, relijius, moral, dan lain-lain) yang mereka milliki.   Sekedar popularitas (media darling),  – lebih-lebih kemampuan membeli suara – adalah nonfaktor dalam hal kepemimpinan ini. Maka tepat sekali jika syarat kedua dari ahl al-ikhtiyar adalah adanya akses untuk mengenal calon yang hendak dipilih. Jangan sampai memilih seperti membeli kucing dalam karung. 
Itulah mengapa syarat ‘adalah dan syarat akses untuk mengenali calon dilengkapi dengan syarat ketiga yaitu kecerdasan dan kearifan untuk memilih yang benar-benar paling pantas. Kecerdasan di sini terkait dengan pemahaman dan pengetahuan sesorang mengenai maksud dan tujuan pemilihan dilakukan. Sedangkan  kearifan berlandaskan sikap ‘adalah tadi. ‘Adalah sering dilawankan dengan fusuq. ‘Adalah merupakan integritas moral sedangkan fusuq adalah setiap sikap yang masuk dalam kategori dosa.
Dengan mencermati syarat ini maka di satu sisi pemilih wajib   menentukan pilihan atas dasar pemahaman akan tujuan pemilihan yang penuh kebaikan, yaitu harasat al-din wa siyasat al-dunya seperti disebut di atas. Di sisi lain, ia harus menghindari setiap motif kotor atau dosa misalnya uang (politics money) yang termasuk dalam kategori risywah atau sogokan yang baik pelaku dan penerimanya diancam dengan neraka oleh Rasulullah SAW.  

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, kita sebagai ahl al-ikhtiyar pertama-tama harus menilai diri sendiri terlebih dahulu apakah kita pemilih yang ‘adil atau bukan. Jika kita cenderung fasiq, maka lebih baik kita golput karena pemilih fasiq tentu akan memilih calon yang fasiq pula. Namun jika kita adalah pemilih yang ber’adalah, hendaknya kita gunakan hak kita untuk memilih calon yang kita harapkan mampu menjaga agama dan mengatur dunia kita sebaik-baiknya. Jika orang-orang yang ‘adil tidak menggunakan haknya maka yang akan memanfaatkan kesempatan ini adalah mereka yang fasiq.

Ketidaksempurnaan calon-calon pemimpin  bukan penghalang untuk tetap memilih karena di antara mereka pasti  ada yang paling sedikit kekurangannya. Bahkan meskipun kita tidak yakin calon-calon itu dapat membuat perubahan positif di masa depan, sebuah harapan sudah merupakan alasan yang cukup untuk berpartisipasi dalam pemilu kali ini.  (fik)

0 komentar:

Posting Komentar

 

terimakasih atas kunjungannya

we love palestina

Lambang LDK

hubungi kami di:

Jl. Tentara Pelajar No. 2 gedung A, Lt. I kampus I STAIN Salatiga 50721
Phone: 085744479682
E-mail: ldkdarulamal.stainsltg@gmail.com
FB: LDK Darul Amal STAIN Salatiga "