Visi LDK

Sebagai wadah positif bagi mahasiswa STAIN Salatigauntuk melahirkan kader-kader yang robbaniyah, ilmiyah dan professional.

Misi LDK

1.Menghimpun, membina, memberdayakan dan mengarahkan mahasiswa guna meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, jasadiyah dan perannya di kampus STAIN Salatigaserta masyarakat secara luas. 2.Menyebarkan nilai-nilai Islam dalam mewujudkan kampus yang Islami..

Karena LDK cinta Palestina

Untukmu, Palestina tercinta, Kami penuhi panggilanmu, Untukmu, Al-Aqsho yang mulia, Kami kan terus bersamamu

indahnya ukhuwah

bukankah hati kita telah lama bersatu, dalam tali kisah persahabatan ilahi..

indahnya berbagi

karena LDK peduli maka LDK berbagi

6/27/2015

Tidak Hanya Bicara! Kita Perlu Perubahan Nyata

Tidak penting membanggakan Kelompok!. Tidak penting membanggakan keluarga!. Tidak penting membanggakan gelar atau titel! Tidak penting membanggakan semuanya. Karena Rasulullah semasih hidup tidak pernah membanggakan Keluarga, Sahabat, Keturunan, Golongan, Istria tau yang lainya. Pantaskah kita membanggakan keluarga? Padahal Rasulullah lebih pantas berbangga diri dibanding kita. Rasulullah bangga memiliki sosok istri Siti Khotijah yang sabar dan lebih dewasa, serta kaya raya. Rasulullah memiliki keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah, serta istiqomah. Keturunan bangsa Quraisy yang disegani dan dihormati. Memiliki sahabat – sahabat yang memiliki kecerdasan yang berlian. Hafal Al – Qur’an, Hadits, ahli tafsir, menguasai kitab, berbagai disiplin ilmu, ahli politik, ahli siasat perang, dll. Rasulullah tidak pernah juga membanggakan diri sendiri? Padahal kita semua tahu dan sangat baham serta fasih. Bahwa rasulullah merupakan Al – Qur’an Berjalan. Yang ucapan, tindakan, serta perasaannya adalah ayat. Siapa saja yang ketemu beliau, tidak lama pasti berubah. Banyak juga yang langsung berubah. Diamnya saja dakwah, dianggap sebagai suatu yang kebaikan dan mulia. Rasulullah yang pernah berbicara dan melihat Allah di sidrotul muntaha, tapi biasa tuh, nggak ada pamernya. Nggak ada pembangganya. Rasulullah juga yang dijamin masuk surga terbaik pertama kali. Tapi kayaknya biasa aja ya?. Gimana?


 Subhanallah…istigfar saudaraku yang seiman dan seperjuangan. Mari kita tata kembali kehidupan kita yang masih banyak dosa. Kita perbanyak berbuat baik. Supaya pahala kita terus mengalir deras serta kita  tumbuh berkembang semakin menumpuk dan menjadi pupuk.  Semoga pupuk – pupuk itu menyuburkan orang – orang di sekitar kita. Mereka yang kita sayangi dan cintai serta kasihi untuk masa depan bersama.  Tularkan energy positif pada setiap yang kita temui. Tidak melihat makhluk hidup atau mati. Karena setiap yang diciptakan memiliki peran dan manfaat yang berbeda – beda. Manfaat itu bisa diambil dimana saja. Tinggal bagaimana kita bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian. Atau kita akan membahas sosok penakluk Kostantinopel. Yang rasulullah mengatakan sebaik – baiknya pemimpin. Sebaik – baiknya pasukan adalah pasukannya. Selama hidupnya puasa senin – kamis. Sholatnya selalu berjamaah dan mulai takbir pertama. Sholat tahajudnya sepertiga malam. Sholat duhanya saat matahari terbit. Sekarang apa yang akan kita banggakan. Masih banyak orang – orang terdahulu yang lebih hebat, kuat, kekeh, taat, cerdas, dan sukses mulia. Tapi kita terkadang menutup diri dari ilmu sejarah. Ilmu kita hanya tentang barat. Kiblat kita sensitif ke barat. Cenderung buku – buku dan temuan barat yang kita pakai sebagai hujjah. Lantas mana esensi nilai – nilai islam yang memiliki sejarah keemasan itu. Sudah lupakah kita pada teriakan rasulullah terakhir kali sebelum beliau wafat. Ummatku…ummatku…ummatku. Beliau terus mengulangi kata ummatku sebanyak…berapa? Ya benar 3 kali. Kenapa 3 x. kenapa tidak satu kali, karena Allah itu satu. Atau kenapa tidak 2 kali, karena hidup ini selalu berbicara 2 unsur yang berbeda. Pengin tahu? 3 aja nggak pada ngeh. Nggak pada mudeng. Nggak pada sadar. Apalagi nggak pada percaya. Lebih parahnya udah tahu, paham, sadar, sangat yakin lagi, tapi nggak berubah. Astagfirullah. Diulang 3x saja, seperti itu. Apalagi diulang 2 atau 1 kali. Parah. Bahkan Rasulullah ketika sakaratul maut sempat berkata. Ya Allah, sakit banget sakaratul maut ini, limpahkan semua rasa sakit ini kepadaku, jangan kepada ummatku.

Tenang ya, yang di atas baru muqodimah. Belum salam, syukur, solawat, isi (inti-masalah-solusi), dan penutup.

Sebelum lanjut. Semoga jenengan yang membaca atau bahkan yang hanya melihat tulisan ini. Penulis do’akan, semoga jenengan segera sukses mencapai cita – cita dan mulia berbagi kepada sesama. Semoga keselamatan, keberkahan, dan kasih sayang Allah selalu saudara – saudaraku rasakan-syukuri-nikmati. Maka kebahagiaan akan selalu melekat pada setiap sisi kehidupan saudara.  Amiiin. Kalau sudah, Yuk pejamkan mata dan rasakan dalam hati mengalir ke seluruh tubuh. Rasakan begitu nikmatnya kita. Masih bisa puasa ramadhan, walau baru 4 ½ hari. Masih bisa baca tulisan bagus ini, walau pakai kaca mata. Masih bisa menuntut ilmu walau ngalamun melulu. Masih bisa kumpul dan bersilaturahmi dengan orang – orang yang kita sayangi dan menyayangi kita. Dan masih banyak kalimat kenikmatan (seng woenak – woenak), yang menggunakan awalan masih. Untuk itu nggak usah panjang lebar mari kita ucapkan Alhamdulillah ya Allah, engkau masih berikan kami udara gratis, uang gratis, ilmu gratis, ala tulis gratis, sahabat – sahabat gratis, keluarga gratis, makan gratis, ojek pun sampai gratis ya Allah. Tidak akan mungkin kami bisa menulis semua nikmat-Mu yan tulus Engkau berikan kepada kami. Niscaya tidak akan mampu laptop ini menyimpan semua nikmat-Mu jika tertulis. Jikalau cukup pasti rusak laptop ini ya Allah. Cukup saja tidak puas kalau belum mampu. Untuk itu kami minta maaf ya Allah. Kami sering melalaikan-Mu disepanjang waktu. Kami lebih sibuk dengan ipadku ya Allah. Tapi Engkau masih saja memberi kami kehidupan. MemberI kami kesempatan. Untuk itu terima kasih ya Allah. Kami berjanji akan memperbaiki diri dengan taubat yang sebenar – benarnya. Akan semakin taat menjalankan perintahmu dan menjauhi laranganmu. Kami akan memaksakan diri merubah kebiasaan buruk menjadi terbaik. Kami tidak ingin menjadi tersempurna. Tapi kami hanya ingin menjadi hambamu yang lebih baik dan lebih baik seterusnya. Karena kami sadar dan yakin. Bahwa kesempurnaan itu hanya milik Engkau ya Allah. Kalau sudah, yuk ucap sholawat dan keselamatan kepada rasulullah Saw, keluarganya, sahabatnya, serta ummatnya-kita semua yang semoga istiqomah menuntun di jalannya. Mari kita teladani akhlaqnya, ikuti sunah – sunahya, jaga ummatnya, jaga agama yang dibawanya, serta teruskan langkah juang dakwahnya. Sehingga apa yang menjadi cita – cita Rasulullah dan kita bersama bisa fakta, realita, dan nyata atas Ridho lillahi ta’ala. Amiin.

Telinga anda tidak asing dengan kata – kata Buah jatuh tidak jauh dari pohonya atau sifat anak tidak jauh dari orang tuanya. Sekarang apa bedanya sifat dan karakter?
Jadi, bedanya sifat dan karakter adalah sumber dan jenis partikelnya. Kalau sifat itu watak dasar. Artinya sifat jiwa yang fitrah dan asli bawaan dari gen orang tuanya. Sedangkan karakter merupakan watak luar yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Kalau sifat bersifat rohani, sedangkan karakter besifat rohani. Makanya wajar sekali ada anak yang sama persis dengan orang tuanya. Baik bapaknya maupun ibunya. Dari segi bicara, tampilanya, memandangnya, pola pikirnya, dan keyakinanya. Bahkan ada juga yang kebiasaan urut sehari – harinya sama.

Subhanallah…jangan heran. Karena apa?. Seorang anak sejak kecil sudah sering kumpul dari mulai tidur sampai mau tidur lagi bersama orang tuanya. Apa yang orang tua lakukan pasti anak tahu, melihat, merasakan, dan merekam dalam memori otak bawah sadar. Disitu ada orang tua. Pasti disitu ada anak. Kemanapun orang tua. Anak pasti diajak. Bahaya apa?. Bahayanya adalah ketika orang tua melakukan segala sesuatu yang negative. Seperti pertengkaran antara suami dan istri. Sehingga menjadikan suasana keluarga tidak sakinah, mawadah, warohmah, serta istiqomah. Kalau sudah seperti ini yang menjadi korban adalah anak – anaknya. Yang nantinya mereka akan semakin sering merekam hal – hal yang negatif. Yang akan menjadi bekal kehancuran di masa depan. Karena dalam otak manusia ada yang namanya otak limbik. Otak limbik atau otak bawah sadar ini berfungsi untuk mempertebal segala sesuatu yang sering ditemui. Otak bawah sadar ini bekerja ketika gelombang frekuensi otak dibawah beta. Bisa Alfa, delta, atau theta. Tapi yang paling tepat adalah ketika kondisi theta. Karena tidur setengah sadar. Atau bahasanya lamat – lamat. Saat itulah otak bawah sadar akan secara Cuma – Cuma merekam  keadaan disekitarnya. Apalagi anak kecil yang belum bisa membedakan mana baik dan buruk. Belum bisa memanagement kerja otak. Maka secara langsung akan terprogram secara otomatis. Hal ini bisa dianalogikan seperti mesin foto copy yang memproses kertas kuarto dalam copian. Maka yang akan keluar dari hasil copian itu pasti kertas kuarto. Kalaupun bukan kertas kuarto. Bisa jadi kecampur dengan kertas lain. Atau mesin dan orangnya yang eror. He.  Jadi sebelum otak limbic ini merekam. Di terima dan diproses dulu oleh otak. Memaknai, memandang, melihat, menilai, mengkiritik, menyalahkan, dan lain sebagainya inilah tugas otak. Setelah otak memproses segala sesuatu atau informasi yang masuk. Diturunkan ke Amigdala (bahasa psikologi). Di dalam amigdala disimpan dan jadilah mindset (pola pikir). Dari amigdala diturunkan ke otak limbic untuk dirangsang dan dipertebal. Kalau tindakan itu diulang – ulang, maka akan semakin menebal dan enjoy (nyaman ketika melakukannya). Dan akan semakin tipis dan hilang dikalahkan tindakan baru yang diulang – ulang. Sedangkan tindakan lama distop, maka tindakan lama semakin tipis dan hilang di dalam amigdala. Bagian otak yang satu ini akan datang kapanpun, dimanapun, dan dalam keadaan apapun siap melayani kita. Kalau yang dilayani terus melakukan yang positif, maka untunglah yang dilayaninya. Tapi kalau sebaliknya, maka sangat rugilah anda.
Jadi kita sudah tahu bagaimana cara kerja otak. Dari bagaimana muncul kebiasaan – kebiasaan atau biasa disebut karakter. Untuk itu marilah kita sama jaga anak – anak bangsa. Mereka adalah harapan masa depan kita. Yang akan meneruskan langkah perjuangan kita. Karena kondisi otak anak ketika masih kecil sangat aktif. Aktif menerima informasi yang masuk tanpa pertimbangan dan penalaran.  Maka otak bawah sadarnya akan mudah dan semakin cepat dalam merekam. Dan outputnya ditiru ketika sudah masanya. Sehingga semakin besar akan menjadi kebiasaan yang mendarah daging dalam diri anak. Dan untuk kita yang sudah remaja dan dewasa. Kita sedang menginjak masa muda, masa yang penuh kendala dan uji coba. Pemuda butuh stimulus kuat untuk perubahan ke arah yang lebih baik dan mulia.

Berhati – hatilah kawan! Ingat! Syeitan akan datang menggoda iman kita. Mereka tidak membedakan siapa orangnya. Rumahnya mana. Umurnya berapa. Titelnya apa. Jabatanya apa. Kewarganegaraanya mana. Agamanya apa. Sarjana mana. S1 atau S2. Masih bujang atau sudah nikah. Janda atau duda. Semua itu sama sekali tidak menjadi perbedaan syeitan untuk melemahkan iman manusia. Yang membedakan semakin tinggi dan kuat imanya serta istiqomah. Maka semakin kuat dan tinggi pula frekuensi godaan syeitanya. Maka mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Karena kebiasaan yang sudah melekat dalam diri manusia, bahkan menjadi watak dasar, maka perlu kekuatan ekstra untuk merubahnya. Jangan meremehkan action. Pilihlah action yang membuat anda bahagia dunia akhirat. Yang tidak hanya membuat anda sukses tapi juga mulia. Maka ingatlah ketika ada tindakan dan pengulangan, pasti akan tampak kebiasaan. Karena orangtuanya kebiasaan adalah tindakan (bapak) dan pegulangan (ibu). Bapak dengan ibu menjadi anak. Bapak + ibu = anak.

Jangan pernah bermain dengan sesuatu yang kecil dan coba – coba. Karena itu semua awal dari perubahan yang nyata. Kalau permainan anda mengarah pada kebaikan. Maka akan merasakan akhir yang bahagia. Akan tetapi kalau permainan anda mengarah pada keburukan dan kejahatan yang tidak membawa kemanfaatan. Maka akan merasakan akhir yang menderita. Tidak hanya di dunia. Tapi juga akhirat. Ingat! Ini bulan ramadhan. Bulan yang suci penuh ampunan. Penuh kebaikan. Penuh kemuliaan. Penuh perbaikan. Penuh kebahagiaan. Penuh kasih sayang. Penuh amalan kebaikan. Relakah kita menyia – nyiakan bulan terbaik diantar dua belas bulan. Tidak kecewakah kita menghambur – hamburkan waktu untuk aktivitas yang tidak berguna di bulan yang malam – malamnya lebih baik dari seribu malam. Kalau tidak rela dan tidak ingin kecewa, bahkan ikhlas. Yuk kita berubah dan berhati – hati dalam apapun. Bahkan Rasulullah memerintahkan kita untuk diam, daripada berbicara yang buruk. Karena apa yang kita lakukan akan menjadi kebiasaan. Sangat mudah sekali otak bawah sadar menebalkan rasa nikmat. Sehingga si ibu bahagia sekali mengulangi tanpa mempertimbangkan efeknya. Kalau baik tidak masalah. Lanjut saja. Dan diulangi semahir mungkin. Tapi kalau buruk?. Ya dihabisi. Hajar bareng – bareng. Supaya mampus. Daripada nyebarin virus kemalasan. Hanya membuat kerusakan di semesta alam. Yang nantinya ditiru anak keturunanya. Sehingga menjadi amal sholeh yang akan mengalir dosa atau pahalanya dan tidak akan terputus hingga hari kiamat. Jenengan mau puluh mana? Aliran pahalanya atau dosanya yang akan terus mengalir sampai ke laut. Itu kehendak anda. Pilih surga atau neraka? (srf)

6/09/2015

Aksara Yang Hilang

Waktu itu misterius. Semau-maunya. Terkadang ia sangat berbaik hati kepada para pemainnya namun ia juga sangat jahat pada pemerannya. Waktu itu membingungkan. Kadang-kadang ia berjalan begitu lambat ketika para wayangnya terisak memilukan, pun  dia berlari begitu cepat pada saat para wayangnya bersuka ria.
Seperti halnya waktu, rasa pun begitu menyebalkan. Dengan terserah ia melakukan apa   saja yang ia kehendaki secara sepihak tanpa bermusyawarah dengan penyandangnya.     Layaknya waktu yang terus berubah setiap detiknya, rasa selalu tak mau kalah. Bahkan  lebih labil ketimbang waktu. Ahai,Mudah sekali ia berubah.
Ah, bukankah ini tak adil?


***
Sore itu aku pulang terlambat. Ada latihan teater untuk tampil di Festival Rakyat minggu depan. Festival yang sangat bersejarah dan aku tak boleh melewatkannya. Terlebih, pada festival yang diadakn lima tahun sekali ini aku berkesempatan berperan sebagai pemeran utamanya. Mimpiku sejak dulu.
Sore itu aku pulang terlambat. Disamping kesibukanku untuk latihan, pun aku harus mengembalikan buku di perpustakaan kota yang seharusnya sudah jatuh tempo kemarin lusa. Dan disini, di perpustakaan ini, ketika aku hendak bergegas pulang, tiba-tiba suara pantulan benda langit berjatuhan memekakan telinga. Hujan!!! Setelah lama hujan tak menyapa bumi, akhirnya kali ini dia datang juga.
Sore itu hujan. Ah sial. Aku tak membawa payung untuk segera pulang.
Terduduk di bangku kayu depan perpustakaan. Melihat hujan. Terdiam tak ada teman. Sendirian. Aroma Petichor menguar menenangkan. Aku rasa tanah benar-benar mulai merindukan hujan. Di sore ini, tepat! Langit rupanya tengah berbaik hari untuk bumi. Memberinya kesempatan untuk bertemu hujan. Mereka yang gersang, seperti tengah berproses menjadi sesuatu yang menyegarkan.
Beberapa saat kemudian. Satu persatu pengunjung perpustakaan berpulang. Perpustakaan sudah mulai di tutup. Tempat ini mulai sepi orang. Sedangkan aku masih terjebak hujan. Bagus! Hari ini aku akan pulang terlambat lagi.
Mendongak ke atas langit yang muram. Dan diantara derasnya hujan yang berkolaborasi dengan rayuan angin yang menjelang malam, aku menyaksi hujan datang bersuka cita tak peduli apa kata orang mengenai dia.
“Hahhhhhfff…”  desahku panjang.
Sudah lama tak turun hujan. Sore ini dia datang. Mengguyur tanah-tanah yang mongering kerontang, menyegarkan rerumputan yang mulai menggersang, semula sangat menyedihkan, hijaunya pudar dengan warna kecokelatan. Disanalah rindu berpulang. Batinku.
Melihat adegan antara langit dan bumi seperti aku ini aku jadi berpikir adanya harapan rerumputan yang semula terlihat kusam, muram, dan kehausan.
Suara rusuh antara air yang berjatuhan pada genting-genting bangunan tiba-tiba saja terdengar sangat memekakan. Sedang pada percikan merdu air yang tertampung pada pipa atap perpustakaan. Merdu. Hujan makin menderas. Dan aku masih terkepung hujan.
***
Menjelang magrib, hujan baru mulai reda. Meskipun masih gerimis, aku beranjak dari bangku kayu perpustakaan. Menggesek paksa sepatu pantofel dengan tanah yang basah. Berjalan terburu-setengah berlari. Bergi dari perpustakaan. Aku pulang.
“Assalamu’alaikum. Ara pulang.” Kemudian masuk ke dalam rumah.
“Baru pulang, Ra?” Tanya ayah.
“Gak dengar Ara tadi bilang apa, yah?”
“Ayah Tanya baik-baik. Tidak pantas kamu jawab seperti itu.” Ujar ibu kepadaku.
“Habisnya, sudah tahu Ara baru pulang, masih saja ayah Tanya kek gitu. Pendengarannya mulai terganggu ya?”
“Jaga bicaramu nduk. Tidak sepatutnya kamu bilang seperti itu kepada ayahmu sendiri.” Kata ibu sembari menamparku.
“Sudah, bu. Ara itu kan baru pulang. Tentu dia capai, letih, dan kedinginan. Tidak usah marah-marah seperti itu. Biarkan dia ganti baju dan shalat dulu.” Kata ayah.
Aku bergegas menuju kamar meninggalkan mereka berdua.
***
BRAKKKKK!!! DERRR!!! Kubanting keras-keras pintu kamarku. Aku terduduk di lantai kamar dengan air mata yang terus saja tak mampu terbendung di balik kelopak. Pertikaian yang masih melyang-layang dikepala. Kututup mulutku kuat-kuat dengan bantal. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Menangis sejadi-jadinya. Aku kesal. Aku marah.
Percakapan tadi tiba-tiba berkelebat lagi di kepala. Sungguh menyesal. Ara bodoh! Kututup telingaku dengan kedua tanganku lekat-lekat. Berharap tak mendengar apapun yang terngiang. “Kalau saja kecelakaan lima tahun silam tidak membuntungkan kaki kanan ayah. Kalau saja kecelakaan lima tahun silam tidak memutuskan daun telinga kanan ayah. Kalau saja waktu itu ayah tidak melihatku berada di bawah bianglala kala itu… ayah tidak akan kehilangan kaki kanannya, ayah tidak akan kehilangan daun telinga kanannya, dan aku tidak akan benci dengan ayah. Kalau saja… ayah tidak bodoh menyelamatkanku dari peristiwa itu… kalau saja… .” bisikku paada diriku sendiri, berandai dengan kata itu aku dapat menghentikan wktu atau bahkan mengembalikan waktu layaknya kemarin yang tak terjadi apa-apa.
“Dasar kurang ajar. Gak tahu sopan santun” teriak ibu kepadaku. Seperti mendengar laknat. Hatiku sesak mendengarnya. Kupukul-pukul dadaku. Harapkan sesak mereda. Kubentur-benturkan kepalaku. Harapkan benda yang bergelayut di kepalaku meringan. Tapi tidak. Dada ini semakin sesak dan kepala ini semakin berat. Aku tertidur.
***
Hari baru. Selayaknya mengawali dengan do’a dan pengharapan baru pula. Dan untuk semua pengharapan yang belum genap oleh nyata, semoga apa yang ku semogakan segera ‘tersemogakan’. Semoga. Semoga gundah yang bertengger semalam segera tak betah kemudian berpindah. Semoga cemas yang hinggap semalam segera pergi kemana entah terserah. Asal tak kembali dan semua menjadi baik-baik saja dan lebih terarah.
***
Tak seperti yang kubayangkan, waktu berlalu begitu cepat. Festival Gelar Karya yang telah ku nanti-nanti selama ini akhirnya tiba juga. Dan malam ini, akan ku hidupkan panggung Festival Rakyat yang tertidur selama lima tahun ini. ‘kuharap ayah tak datang’
“Ayo persiapkan dirimu. Ganti kostummu itu. 30 menit lagi kita akan tampil loh.” Kata Tania, sahabatku. Aku bergegas. Mengganti pakaianku.
***
Ternyata benar, sebuah rahasia tidak akan bertahan berlama-lama. Serapat mungkin aku menyimpannya dari ayah kalau aku akan pentas di Festival Rakyat tahun ini. Rupanya, ayah tahu juga. Di balik layar panggung ini kulihat ayah, ibu dan adikku sudah duduk di bangku paling depan. Dan dengan mata elang ayah, aku tahu, pasti ia tengah meniti satu persatu peserta di atas panggung mungkin untuk mencariku. Huffff!!!
Kutumpuk kedua tanganku diatas dada. Menarik napas panjang-panjang lalu menghempaskannya. Gugup. Bukan karena sebentar lagi aku akan tampil. Namun karena aku takut ayah akan bertindak memalukan ketika aku berada di panggung, meneriaki namaku dan mengaku-aku sebagai anaknya misalnya, meskipun itu memang benar. Membayangkannya ia bertindak seperti itu pun tiba-tiba semua menjadi sangat menyeramkan. Melambat.
Giliran aku dan teman-teman pentas memainkan teater tentang Matahari dan Bulan Yang Memperjuangkan Jumpa. “Semua akan baik-baik saja, Ara.. It’s okay!!” kataku pada diriku sendiri.
***
Semua sudah selesai. Aku dan teman-teman berhasil. Dan berjalan sesuai rencana. Tepuk tangan meriah itu sungguh memukau. Mengagumkan sekali. Sungguh mengagumkan.
Tak dinyana. Sesuatu yang sangat aku khawatirkan rupanya datang juga. Ayah, ibu dan adikku, Maera datang menghampiriku dan teman-teman ke ruang persiapan kelompok teaterku.
“Kak Ara… kakak cantik banget tadi.” Kata Maera, adikku.
“Selamat ya. Ayah suka sekali, nduk.” Ucap ayah sembari memberiku serangkai bunga dan hendak memelukku. Namun urung setelah ku seka tangannya.
Sungguh, aku benci sekali dengan sikap ayah terhadapku di depan teman-teman teaterku. Aku malu. Kulihat gurat kecewa dengan mata berkacanya ayah atas perlakuanku terhadapnya.
“Ayah ngapain sih ikutan kesini. Ara kan malu. Ibu kenapa ngajakin ayah kesini. Sudah Ara bilang, tidak usah repot-repot untuk datang.” Ujarku kesal.
“Apa salahnya kalau ayah ingin melihat anaknya tampil di panggung yang hebat itu?” jawab ibu.
“Ibu…. Ara malu dengan teman-teman. Bagaimana kalau nanti tidak ada yang mau berteman dengan Ara kalau melihat ayah yang seperti monster ini?”
“Jaga bicaramu, nduk. Beliaukan ayahmu juga.”
“Iya, tapi Ara gak mau punya ayah yang cacat seperti ini.” Kataku tak dapat menahan emosi.
PLAK! Sejurus, tamparan ibumendarat di pipiku. Beberapa kali, aku pernah di tampar oleh ibu. Namun entah kenapa, sebelumnya tak pernah sesakit ini. Aku hendak menangis, namun aku malu dengan teman-temanku.
“Astaghfirullahal’adzim, Ara.” Celetuk beberapa teman teaterku yang berada di dalam ruangan.
“Ra, kok kamu gak sopan gitu dengan ayahmu sendiri? Biarpun ayahmu seperti itu, dia tetap ayahmu.” Timpal yang lain.
Sungguh, aku semakin malu. Aku tak kuat menahan tangis. Bergegas keluar dari ruangan dan segera pulang.
***
 Kau tahu rasanya kecewa? Seperti kamu di terbangkan tinggi-tinggi lalu kamu di jatuhkan dengan-dan tanpa ba-bi-bu. Itu pasti hambar dan menyebalkan bukan? Menyedihkan, memang. Namun bagi kamu yang terlalu sering mendapati kecewa,  mungkin saja kamu tak akan berkecil hati begitu menerimanya. Baiklah, kamu yang seperti itu merupakan manusia yang beruntung. Karena kamu memiliki sebuah hati yang kebal dengan rasa yang sejatinya tak pernah lepas dari setiap yang bernapas; Kecewa.
Pun dengan harapan yang selalu berdampingan dengan kecewa. Dia adalah sebuah ingin bermohon dapat. Pabila kamu telah berhadapan dengan dia, dan yang kamu dapati malah kecewa, kamu pasti merasakan bagaimana kamu diperlakukan malang. Kecuali bagi kamu pememiliki hati yang lapang dan berbesar sabar. Baiklah aku katakan sekali lagi. Kamu adalah manusia pilihan yang telah ditentukan oleh alam. Kamu mungkin akan berpikir darimana aku bisa tahu semua itu. Tentu saja aku tahu. Karena aku adalah bagian dari manusia-manusia itu. Menelan riang sebuah harap yang kemudian berujung kecewa. Namun sayang, aku kira aku belum termasuk dalam kategori manusia pilihan alam yang kusebutkan tadi.
Aku pernah kecewa. Karena aku pernah dan bahkan sering menyelaminya. Aku tahu sebab dari persoalan itu, semua karena akuterlalu berharap pada sesuatu yang sebenarnya tak kuketahui apakah akan aku dapat. Bukankah seperti itu? Aku mendapatti sebuah kecewa tidak lain melainkan aku terlalu berharap? Seimbang.
“Ayah boleh masuk, nduk?” katanya dibalik pintu kamarku.
“Masuk saja. Tidak di kunci.” Jawabku malas. Masih menangis. Tengkurap.
“Ara masih marah ya?” tanyanya sembari terpogoh menuju tempat tidurku. Kemudian mengusap rambut ikalku.
Hening. Biarlah hening. Tak perlu kujawab ayah juga pasti akan tahu apa jawabannya. Tentu saja masih marah. Kejadian tadi cukup membuatku malu tak karuan di hadapan teman-temanku. Bagiku, ayah sudah terlalu keterlaluan. Batinku dalam hati.
“Ara, boleh ayah bertanya sesuatu?” sambungnya. Aku masih terdiam.
“Ayah tidak tahu, semenjak peristiwa lima tahun silam nampaknya Ara sangat membenci ayah. Tidak sedikitpun kamu memberi kesempatan kepada ayah untuk berbicara kepada kamu. Ara malu ya melihat keadaan ayah yang seperti ini?” lanjutnya. Masih ku jawab dengan hening.
“Maafkan ayah, sebab ayah belum dapat menjadi ayah yang baik, yang sesuai dengan apa yang kau harapkan. Maafkan ayah, sebab ayah berkali-kali membuatmu malu dan kecewa di hadapan teman-temanmu. Maafkan ayahmu ini. Ayah hanya mencoba menjadi ayah yang baik semampu ayah.
Nduk, ayah tahu kamu membenci ayah. Tapi sesekali, tolong lihatlah ayah dari sisi ayah pula, bukan dari sisimu saja. Orang bilang, kala kebencian merasuki jiwa, sesuatu yang seharusnya terlihat indah seketika akan menjadi sangat buruk. Cobalah buka hatimusedikit dan beri ayah kesempatan untuk menjadi ayah yang baik buat kamu.”
Dadaku sesak mendengar ayah berkata seperti  itu. Entah kenapa, baru saja seperti ada yang menuangkan cuka dilukaku yang masih basah. Perih. Tapi… entah kenapa aku berpikiran kalau luka ini tak sebanding dengan luka yang kugoreskan terhadap ayah selama ini. Lalu, apa bedanya natara kau dan kacang yang lupa dengan kulitnya?
“Baiklah. Sepertinya kamu sudah mengantuk. Ayah tidak akan menganggu istirahatmu.” Beranjak keluar.
“Ayah…” panggilku. Hatiku luluh dan sakit mendengar ayah berbicara seperti itu. Memang seharusnya aku tidak berlaku seperti itu terhadap ayah. Apa salah ayah sampai aku harus membencinya?
“Maafkan Ara. Bukan salah ayah. Semua ini salah Ara. Bukan salah ayah.” Tangisku meledak. Aku tidak kuat lagi menahan bendung air mata ini. Lalu, seketika semua tumpah di pelukan ayah. Hey, ini hangat sekali. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan seperti ini di pelukan ayah.
“Ara tidak membenci ayah. Ara benci dengan diri Ara sendiri. Bukan dengan ayah.” Kataku terbata.
“Sebab karena Ara, ayah menjadi seperti ini. Semua gara-gara Ara ayah seperti ini. Kalau saja waktu itu ayah tidak menyelamatkan Ara dari kecelakaan lima tahun silam, mungkin ayah tidak akan menjadi seperti ini, ayah tidak akan kehilangan kaki kanan ayah. Kalau saja waktu itu ayah tidak datang menyelamatkan Ara, ayah tidak akan seperti ini. Kalau saja…”
“Dengan kalau saja-kalau saja mu itu tidak akan mengembalikan semuanya menjadi seperti semula, Nak. Kau tahu? Menerima sesuatu yang tidak kita kehendaki adalah bagian dari rukun iman yang ke enam. Bukankah di sekolah Ara sudah pernah di ajarkan enam rukun iman itu?” jelas ayah memutus kelakarku. Aku mengangguk.
“Nak…. Mungkin kita tidak pernah mengerti hakikat menerima, melepaskan, dan mengikhlaskan apabila kita terus-menerus mengurung diri dari rasa bersalah tidak terima dengan ketentuan yang telah Allah takdirkan untuk kita. Ara mau menjadi orang beriman kan?” aku mengangguk lagi.
“Tidak semua yang kita ingin akan kita dapat. Alllah selalu memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Apa yang di kata Allah? Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia baik bagi kalian dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal ia buruk bagi kalian. Dan Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui (Al Baqarah, 216.) Namun mungkin kita sering kehilangan arah ketika apa yang kita ingin tidak kita dapati. Lalu kita menyalahkan keadaan kalau yang kita dapati tak sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Meronta-ronta menghardik waktu dan bahkan sampai menyumpah serapahinya yang sejatinya dia hanya melaksanakan tugas saja. Kemudian bingung lagi mencari arah untuk berjalan. Dan marah-marah lagi kalau yang didapati adalah tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kadang, pelajaran berharga iru seringkali kita resapi dari apa yang telah berlalu. Sudah seharusnya kejadian ini membuat kita lebih berpikir dan lebih paham dalam menjalani kehidupan ini. Ara sudah semakin dewasa, pasti Ara tahu apa yang harus Ara lakukan.
“Ayah seperti ini, yasudah. Memang ini yang terbaik bagi ayah. Tidak ada yang harus disalahkan. Allah sudah menggariskan seperti ini. Tidak perlu marah apa lagi kecewa. Tugas kita cukup rela, mengikhlaskan dan menerima saja. Sudah. Tidak perlu ada yang disalahkan. Maafkan dirimu sendiri. Allah lebih tahu.” Lanjutnya.
***
Malam itu aku seperti menemukan sesuatu yang selama ini tak pernah ketemu. Meskipun ku cari-cari sejauh apapun itu, pantas saja tak ketemu kalau rupanya jawabannya berada pada ayahku sendiri. Aksara yang hilang, kini aku menemukannya.
Ayah benar, kalau aku masih marah dengan takdir-Nya. Selamanya aku tidak akan menjadi orang yang beriman. Ayah benar, apabila aku masih mengurung diri dari salah menyalahkan dan tidak ikhlas dengan pemberian-Nya, mungkin aku tak akan pernah mengerti hakikat menerima, melepaskan dan mengikhlaskan.
Aksara yang hilang itu sudah di ketemukan. Rupanya, semua hanya soal menerima, melepaskan, dan mengikhlaskan. (Humaida Fatwati)


 

terimakasih atas kunjungannya

we love palestina

Lambang LDK

hubungi kami di:

Jl. Tentara Pelajar No. 2 gedung A, Lt. I kampus I STAIN Salatiga 50721
Phone: 085744479682
E-mail: ldkdarulamal.stainsltg@gmail.com
FB: LDK Darul Amal STAIN Salatiga "