Waktu itu misterius. Semau-maunya.
Terkadang ia sangat berbaik hati kepada para pemainnya namun ia juga sangat
jahat pada pemerannya. Waktu itu membingungkan. Kadang-kadang ia berjalan
begitu lambat ketika para wayangnya terisak memilukan, pun dia berlari begitu cepat pada saat para
wayangnya bersuka ria.
Seperti halnya waktu, rasa pun begitu
menyebalkan. Dengan terserah ia melakukan apa
saja yang ia kehendaki secara sepihak tanpa bermusyawarah dengan
penyandangnya. Layaknya waktu yang
terus berubah setiap detiknya, rasa selalu tak mau kalah. Bahkan lebih labil ketimbang waktu. Ahai,Mudah
sekali ia berubah.
Ah, bukankah ini tak adil?
***
Sore
itu aku pulang terlambat. Ada latihan teater untuk tampil di Festival Rakyat
minggu depan. Festival yang sangat bersejarah dan aku tak boleh melewatkannya. Terlebih, pada festival yang diadakn lima
tahun sekali ini aku berkesempatan berperan sebagai pemeran utamanya. Mimpiku sejak dulu.
Sore
itu aku pulang terlambat. Disamping kesibukanku untuk latihan, pun aku harus
mengembalikan buku di perpustakaan kota yang seharusnya sudah jatuh tempo
kemarin lusa. Dan disini, di perpustakaan ini, ketika aku hendak bergegas pulang,
tiba-tiba suara pantulan benda langit berjatuhan memekakan telinga. Hujan!!!
Setelah lama hujan tak menyapa bumi, akhirnya kali ini dia datang juga.
Sore
itu hujan. Ah sial. Aku tak membawa payung untuk segera pulang.
Terduduk
di bangku kayu depan perpustakaan. Melihat hujan. Terdiam tak ada teman. Sendirian. Aroma Petichor
menguar menenangkan. Aku rasa tanah benar-benar mulai merindukan hujan.
Di sore ini, tepat! Langit rupanya tengah berbaik hari untuk bumi. Memberinya
kesempatan untuk bertemu hujan. Mereka
yang gersang, seperti tengah berproses menjadi sesuatu yang menyegarkan.
Beberapa saat kemudian. Satu persatu pengunjung
perpustakaan berpulang. Perpustakaan sudah mulai di tutup. Tempat ini mulai
sepi orang. Sedangkan aku masih terjebak hujan. Bagus! Hari ini aku akan pulang
terlambat lagi.
Mendongak ke atas langit yang muram. Dan diantara
derasnya hujan yang berkolaborasi dengan rayuan angin yang menjelang malam, aku
menyaksi hujan datang bersuka cita tak peduli apa kata orang mengenai dia.
“Hahhhhhfff…” desahku
panjang.
Sudah
lama tak turun hujan. Sore ini dia datang. Mengguyur tanah-tanah yang mongering
kerontang, menyegarkan rerumputan yang mulai menggersang, semula sangat
menyedihkan, hijaunya pudar dengan warna kecokelatan. Disanalah rindu
berpulang. Batinku.
Melihat
adegan antara langit dan bumi seperti aku ini aku jadi berpikir adanya harapan
rerumputan yang semula terlihat kusam, muram, dan kehausan.
Suara rusuh antara air yang berjatuhan pada
genting-genting bangunan tiba-tiba saja terdengar sangat memekakan. Sedang pada
percikan merdu air yang tertampung pada pipa atap perpustakaan. Merdu. Hujan
makin menderas. Dan aku masih terkepung hujan.
***
Menjelang magrib, hujan baru mulai reda. Meskipun
masih gerimis, aku beranjak dari bangku kayu perpustakaan. Menggesek paksa
sepatu pantofel dengan tanah yang basah. Berjalan terburu-setengah berlari.
Bergi dari perpustakaan. Aku pulang.
“Assalamu’alaikum. Ara pulang.” Kemudian masuk ke
dalam rumah.
“Baru pulang, Ra?” Tanya ayah.
“Gak dengar Ara tadi bilang apa, yah?”
“Ayah Tanya baik-baik. Tidak pantas kamu jawab seperti
itu.” Ujar ibu kepadaku.
“Habisnya, sudah tahu Ara baru pulang, masih saja ayah
Tanya kek gitu. Pendengarannya mulai terganggu ya?”
“Jaga bicaramu nduk. Tidak sepatutnya kamu
bilang seperti itu kepada ayahmu sendiri.” Kata ibu sembari menamparku.
“Sudah, bu. Ara itu kan baru pulang. Tentu dia capai,
letih, dan kedinginan. Tidak usah marah-marah seperti itu. Biarkan dia ganti
baju dan shalat dulu.” Kata ayah.
Aku bergegas menuju kamar meninggalkan mereka berdua.
***
BRAKKKKK!!! DERRR!!! Kubanting keras-keras pintu
kamarku. Aku terduduk di lantai kamar dengan air mata yang terus saja tak mampu
terbendung di balik kelopak. Pertikaian
yang masih melyang-layang dikepala. Kututup mulutku kuat-kuat dengan bantal.
Aku berteriak sekencang-kencangnya. Menangis sejadi-jadinya. Aku kesal. Aku
marah.
Percakapan
tadi tiba-tiba berkelebat lagi di kepala. Sungguh menyesal. Ara bodoh! Kututup
telingaku dengan kedua tanganku lekat-lekat. Berharap tak mendengar apapun yang
terngiang. “Kalau saja kecelakaan lima tahun silam tidak membuntungkan kaki
kanan ayah. Kalau saja kecelakaan lima tahun silam tidak memutuskan daun telinga
kanan ayah. Kalau saja waktu itu ayah tidak melihatku berada di bawah bianglala
kala itu… ayah tidak akan kehilangan kaki kanannya, ayah tidak akan kehilangan
daun telinga kanannya, dan aku tidak akan benci dengan ayah. Kalau saja… ayah
tidak bodoh menyelamatkanku dari peristiwa itu… kalau saja… .” bisikku paada diriku sendiri, berandai
dengan kata itu aku dapat menghentikan wktu atau bahkan mengembalikan waktu
layaknya kemarin yang tak terjadi apa-apa.
“Dasar kurang ajar. Gak tahu sopan santun” teriak ibu kepadaku. Seperti mendengar
laknat. Hatiku sesak
mendengarnya. Kupukul-pukul dadaku. Harapkan sesak mereda. Kubentur-benturkan
kepalaku. Harapkan benda yang bergelayut di kepalaku meringan. Tapi tidak. Dada
ini semakin sesak dan kepala ini semakin berat. Aku tertidur.
***
Hari baru. Selayaknya mengawali dengan do’a dan
pengharapan baru pula. Dan untuk semua pengharapan yang belum genap oleh nyata,
semoga apa yang ku semogakan segera ‘tersemogakan’. Semoga. Semoga gundah yang
bertengger semalam segera tak betah kemudian berpindah. Semoga cemas yang
hinggap semalam segera pergi kemana entah terserah. Asal tak kembali dan semua
menjadi baik-baik saja dan lebih terarah.
***
Tak
seperti yang kubayangkan, waktu berlalu begitu cepat. Festival Gelar Karya yang telah ku
nanti-nanti selama ini akhirnya tiba juga. Dan malam ini, akan ku hidupkan
panggung Festival Rakyat yang tertidur selama lima tahun ini. ‘kuharap ayah
tak datang’
“Ayo persiapkan dirimu. Ganti kostummu itu. 30 menit
lagi kita akan tampil loh.” Kata Tania, sahabatku. Aku bergegas.
Mengganti pakaianku.
***
Ternyata benar, sebuah rahasia tidak akan bertahan
berlama-lama. Serapat mungkin aku menyimpannya dari ayah kalau aku akan pentas
di Festival Rakyat tahun ini. Rupanya, ayah tahu juga. Di balik layar panggung
ini kulihat ayah, ibu dan adikku sudah duduk di bangku paling depan. Dan dengan
mata elang ayah, aku tahu, pasti ia tengah meniti satu persatu peserta di atas
panggung mungkin untuk mencariku. Huffff!!!
Kutumpuk kedua tanganku diatas dada. Menarik napas
panjang-panjang lalu menghempaskannya. Gugup. Bukan karena sebentar lagi aku
akan tampil. Namun karena aku takut ayah akan bertindak memalukan ketika aku
berada di panggung, meneriaki namaku dan mengaku-aku sebagai anaknya misalnya,
meskipun itu memang benar. Membayangkannya ia bertindak seperti itu pun
tiba-tiba semua menjadi sangat menyeramkan. Melambat.
Giliran aku dan teman-teman pentas memainkan teater
tentang Matahari dan Bulan Yang Memperjuangkan Jumpa. “Semua akan baik-baik
saja, Ara.. It’s okay!!” kataku pada diriku sendiri.
***
Semua sudah selesai. Aku dan teman-teman berhasil. Dan
berjalan sesuai rencana. Tepuk tangan meriah itu sungguh memukau. Mengagumkan
sekali. Sungguh mengagumkan.
Tak dinyana. Sesuatu yang sangat aku khawatirkan
rupanya datang juga. Ayah, ibu dan adikku, Maera datang menghampiriku dan
teman-teman ke ruang persiapan kelompok teaterku.
“Kak Ara… kakak cantik banget tadi.” Kata Maera,
adikku.
“Selamat ya. Ayah suka sekali, nduk.” Ucap ayah
sembari memberiku serangkai bunga dan hendak memelukku. Namun urung setelah ku
seka tangannya.
Sungguh, aku benci sekali dengan sikap ayah terhadapku
di depan teman-teman teaterku. Aku malu. Kulihat gurat kecewa dengan mata
berkacanya ayah atas perlakuanku terhadapnya.
“Ayah
ngapain sih ikutan kesini. Ara kan malu. Ibu kenapa ngajakin ayah kesini. Sudah
Ara bilang, tidak usah repot-repot untuk datang.” Ujarku kesal.
“Apa
salahnya kalau ayah ingin melihat anaknya tampil di panggung yang hebat itu?”
jawab ibu.
“Ibu…. Ara malu dengan teman-teman. Bagaimana kalau
nanti tidak ada yang mau berteman dengan Ara kalau melihat ayah yang seperti
monster ini?”
“Jaga bicaramu, nduk. Beliaukan ayahmu juga.”
“Iya, tapi Ara gak mau punya ayah yang cacat seperti
ini.” Kataku tak dapat menahan emosi.
PLAK! Sejurus, tamparan ibumendarat di pipiku.
Beberapa kali, aku pernah di tampar oleh ibu. Namun entah kenapa, sebelumnya
tak pernah sesakit ini. Aku hendak menangis, namun aku malu dengan
teman-temanku.
“Astaghfirullahal’adzim, Ara.” Celetuk beberapa teman
teaterku yang berada di dalam ruangan.
“Ra, kok kamu gak sopan gitu dengan ayahmu sendiri?
Biarpun ayahmu seperti itu, dia tetap ayahmu.” Timpal yang lain.
Sungguh,
aku semakin malu. Aku tak kuat menahan tangis. Bergegas keluar dari ruangan dan segera
pulang.
***
Kau tahu
rasanya kecewa? Seperti kamu di terbangkan tinggi-tinggi lalu kamu di jatuhkan
dengan-dan tanpa ba-bi-bu. Itu pasti hambar dan menyebalkan bukan?
Menyedihkan, memang. Namun bagi kamu yang terlalu sering mendapati kecewa, mungkin saja kamu tak akan berkecil hati
begitu menerimanya. Baiklah, kamu yang seperti itu merupakan manusia yang
beruntung. Karena kamu memiliki sebuah hati yang kebal dengan rasa yang
sejatinya tak pernah lepas dari setiap yang bernapas; Kecewa.
Pun dengan harapan yang selalu berdampingan dengan
kecewa. Dia adalah sebuah ingin bermohon dapat. Pabila kamu telah berhadapan dengan
dia, dan yang kamu dapati malah kecewa, kamu pasti merasakan bagaimana kamu
diperlakukan malang. Kecuali bagi kamu pememiliki hati yang lapang dan berbesar
sabar. Baiklah aku katakan sekali lagi. Kamu adalah manusia pilihan yang telah
ditentukan oleh alam. Kamu mungkin akan berpikir darimana aku bisa tahu semua
itu. Tentu saja aku tahu. Karena aku adalah bagian dari manusia-manusia itu.
Menelan riang sebuah harap yang kemudian berujung kecewa. Namun sayang, aku
kira aku belum termasuk dalam kategori manusia pilihan alam yang kusebutkan
tadi.
Aku pernah kecewa. Karena aku pernah dan bahkan sering
menyelaminya. Aku tahu sebab dari persoalan itu, semua karena akuterlalu
berharap pada sesuatu yang sebenarnya tak kuketahui apakah akan aku dapat.
Bukankah seperti itu? Aku mendapatti sebuah kecewa tidak lain melainkan aku
terlalu berharap? Seimbang.
“Ayah boleh masuk, nduk?” katanya dibalik pintu
kamarku.
“Masuk saja. Tidak di kunci.” Jawabku malas. Masih
menangis. Tengkurap.
“Ara masih marah ya?” tanyanya sembari terpogoh menuju
tempat tidurku. Kemudian mengusap rambut ikalku.
Hening. Biarlah hening. Tak perlu kujawab ayah juga
pasti akan tahu apa jawabannya. Tentu saja masih marah. Kejadian tadi cukup
membuatku malu tak karuan di hadapan teman-temanku. Bagiku, ayah sudah terlalu
keterlaluan. Batinku dalam hati.
“Ara, boleh ayah bertanya sesuatu?” sambungnya. Aku
masih terdiam.
“Ayah tidak tahu, semenjak peristiwa lima tahun silam
nampaknya Ara sangat membenci ayah. Tidak sedikitpun kamu memberi kesempatan
kepada ayah untuk berbicara kepada kamu. Ara malu ya melihat keadaan ayah yang
seperti ini?” lanjutnya. Masih ku jawab dengan hening.
“Maafkan ayah, sebab ayah belum dapat menjadi ayah
yang baik, yang sesuai dengan apa yang kau harapkan. Maafkan ayah, sebab ayah
berkali-kali membuatmu malu dan kecewa di hadapan teman-temanmu. Maafkan ayahmu
ini. Ayah hanya mencoba menjadi ayah yang baik semampu ayah.
“Nduk,
ayah tahu kamu membenci ayah. Tapi sesekali, tolong lihatlah ayah dari sisi
ayah pula, bukan dari sisimu saja. Orang bilang, kala kebencian merasuki jiwa,
sesuatu yang seharusnya terlihat indah seketika akan menjadi sangat buruk.
Cobalah buka hatimusedikit dan beri ayah kesempatan untuk menjadi ayah yang
baik buat kamu.”
Dadaku sesak mendengar ayah berkata seperti itu. Entah kenapa, baru saja seperti ada yang
menuangkan cuka dilukaku yang masih basah. Perih. Tapi… entah kenapa aku
berpikiran kalau luka ini tak sebanding dengan luka yang kugoreskan terhadap
ayah selama ini. Lalu, apa bedanya natara kau dan kacang yang lupa dengan
kulitnya?
“Baiklah. Sepertinya kamu sudah mengantuk. Ayah tidak
akan menganggu istirahatmu.” Beranjak keluar.
“Ayah…” panggilku. Hatiku luluh dan sakit mendengar
ayah berbicara seperti itu. Memang seharusnya aku tidak berlaku seperti itu
terhadap ayah. Apa salah ayah sampai aku harus membencinya?
“Maafkan Ara. Bukan salah ayah. Semua ini salah Ara. Bukan salah ayah.” Tangisku meledak. Aku tidak kuat lagi menahan
bendung air mata ini. Lalu, seketika semua tumpah di pelukan ayah. Hey, ini
hangat sekali. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan seperti ini di pelukan
ayah.
“Ara tidak membenci ayah. Ara benci dengan diri Ara
sendiri. Bukan dengan ayah.” Kataku terbata.
“Sebab karena Ara, ayah menjadi seperti ini. Semua
gara-gara Ara ayah seperti ini. Kalau saja waktu itu ayah tidak menyelamatkan
Ara dari kecelakaan lima tahun silam, mungkin ayah tidak akan menjadi seperti
ini, ayah tidak akan kehilangan kaki kanan ayah. Kalau saja waktu itu ayah
tidak datang menyelamatkan Ara, ayah tidak akan seperti ini. Kalau saja…”
“Dengan kalau saja-kalau saja mu itu tidak akan
mengembalikan semuanya menjadi seperti semula, Nak. Kau tahu? Menerima sesuatu
yang tidak kita kehendaki adalah bagian dari rukun iman yang ke enam. Bukankah
di sekolah Ara sudah pernah di ajarkan enam rukun iman itu?” jelas ayah memutus
kelakarku. Aku mengangguk.
“Nak…. Mungkin kita tidak pernah mengerti hakikat
menerima, melepaskan, dan mengikhlaskan apabila kita terus-menerus mengurung
diri dari rasa bersalah tidak terima dengan ketentuan yang telah Allah
takdirkan untuk kita. Ara mau menjadi orang beriman kan?” aku mengangguk lagi.
“Tidak semua yang kita ingin akan kita dapat. Alllah
selalu memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Apa yang
di kata Allah? Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia baik bagi kalian
dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal ia buruk bagi kalian. Dan Allah
mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui (Al Baqarah, 216.) Namun mungkin
kita sering kehilangan arah ketika apa yang kita ingin tidak kita dapati. Lalu
kita menyalahkan keadaan kalau yang kita dapati tak sesuai dengan apa yang kita
kehendaki. Meronta-ronta menghardik waktu dan bahkan sampai menyumpah
serapahinya yang sejatinya dia hanya melaksanakan tugas saja. Kemudian bingung
lagi mencari arah untuk berjalan. Dan marah-marah lagi kalau yang didapati
adalah tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kadang, pelajaran berharga iru
seringkali kita resapi dari apa yang telah berlalu. Sudah seharusnya kejadian
ini membuat kita lebih berpikir dan lebih paham dalam menjalani kehidupan ini.
Ara sudah semakin dewasa, pasti Ara tahu apa yang harus Ara lakukan.
“Ayah
seperti ini, yasudah. Memang ini yang terbaik bagi ayah. Tidak ada yang harus
disalahkan. Allah sudah menggariskan seperti ini. Tidak perlu marah apa lagi
kecewa. Tugas kita cukup rela, mengikhlaskan dan menerima saja. Sudah. Tidak
perlu ada yang disalahkan. Maafkan dirimu sendiri. Allah lebih tahu.”
Lanjutnya.
***
Malam itu aku seperti menemukan sesuatu yang selama
ini tak pernah ketemu. Meskipun ku cari-cari sejauh apapun itu, pantas saja tak
ketemu kalau rupanya jawabannya berada pada ayahku sendiri. Aksara yang hilang,
kini aku menemukannya.
Ayah benar, kalau aku masih marah dengan takdir-Nya.
Selamanya aku tidak akan menjadi orang yang beriman. Ayah benar, apabila aku
masih mengurung diri dari salah menyalahkan dan tidak ikhlas dengan
pemberian-Nya, mungkin aku tak akan pernah mengerti hakikat menerima,
melepaskan dan mengikhlaskan.
Aksara
yang hilang itu sudah di ketemukan. Rupanya, semua hanya soal menerima,
melepaskan, dan mengikhlaskan. (Humaida
Fatwati)
0 komentar:
Posting Komentar