6/09/2015

Aksara Yang Hilang

Waktu itu misterius. Semau-maunya. Terkadang ia sangat berbaik hati kepada para pemainnya namun ia juga sangat jahat pada pemerannya. Waktu itu membingungkan. Kadang-kadang ia berjalan begitu lambat ketika para wayangnya terisak memilukan, pun  dia berlari begitu cepat pada saat para wayangnya bersuka ria.
Seperti halnya waktu, rasa pun begitu menyebalkan. Dengan terserah ia melakukan apa   saja yang ia kehendaki secara sepihak tanpa bermusyawarah dengan penyandangnya.     Layaknya waktu yang terus berubah setiap detiknya, rasa selalu tak mau kalah. Bahkan  lebih labil ketimbang waktu. Ahai,Mudah sekali ia berubah.
Ah, bukankah ini tak adil?


***
Sore itu aku pulang terlambat. Ada latihan teater untuk tampil di Festival Rakyat minggu depan. Festival yang sangat bersejarah dan aku tak boleh melewatkannya. Terlebih, pada festival yang diadakn lima tahun sekali ini aku berkesempatan berperan sebagai pemeran utamanya. Mimpiku sejak dulu.
Sore itu aku pulang terlambat. Disamping kesibukanku untuk latihan, pun aku harus mengembalikan buku di perpustakaan kota yang seharusnya sudah jatuh tempo kemarin lusa. Dan disini, di perpustakaan ini, ketika aku hendak bergegas pulang, tiba-tiba suara pantulan benda langit berjatuhan memekakan telinga. Hujan!!! Setelah lama hujan tak menyapa bumi, akhirnya kali ini dia datang juga.
Sore itu hujan. Ah sial. Aku tak membawa payung untuk segera pulang.
Terduduk di bangku kayu depan perpustakaan. Melihat hujan. Terdiam tak ada teman. Sendirian. Aroma Petichor menguar menenangkan. Aku rasa tanah benar-benar mulai merindukan hujan. Di sore ini, tepat! Langit rupanya tengah berbaik hari untuk bumi. Memberinya kesempatan untuk bertemu hujan. Mereka yang gersang, seperti tengah berproses menjadi sesuatu yang menyegarkan.
Beberapa saat kemudian. Satu persatu pengunjung perpustakaan berpulang. Perpustakaan sudah mulai di tutup. Tempat ini mulai sepi orang. Sedangkan aku masih terjebak hujan. Bagus! Hari ini aku akan pulang terlambat lagi.
Mendongak ke atas langit yang muram. Dan diantara derasnya hujan yang berkolaborasi dengan rayuan angin yang menjelang malam, aku menyaksi hujan datang bersuka cita tak peduli apa kata orang mengenai dia.
“Hahhhhhfff…”  desahku panjang.
Sudah lama tak turun hujan. Sore ini dia datang. Mengguyur tanah-tanah yang mongering kerontang, menyegarkan rerumputan yang mulai menggersang, semula sangat menyedihkan, hijaunya pudar dengan warna kecokelatan. Disanalah rindu berpulang. Batinku.
Melihat adegan antara langit dan bumi seperti aku ini aku jadi berpikir adanya harapan rerumputan yang semula terlihat kusam, muram, dan kehausan.
Suara rusuh antara air yang berjatuhan pada genting-genting bangunan tiba-tiba saja terdengar sangat memekakan. Sedang pada percikan merdu air yang tertampung pada pipa atap perpustakaan. Merdu. Hujan makin menderas. Dan aku masih terkepung hujan.
***
Menjelang magrib, hujan baru mulai reda. Meskipun masih gerimis, aku beranjak dari bangku kayu perpustakaan. Menggesek paksa sepatu pantofel dengan tanah yang basah. Berjalan terburu-setengah berlari. Bergi dari perpustakaan. Aku pulang.
“Assalamu’alaikum. Ara pulang.” Kemudian masuk ke dalam rumah.
“Baru pulang, Ra?” Tanya ayah.
“Gak dengar Ara tadi bilang apa, yah?”
“Ayah Tanya baik-baik. Tidak pantas kamu jawab seperti itu.” Ujar ibu kepadaku.
“Habisnya, sudah tahu Ara baru pulang, masih saja ayah Tanya kek gitu. Pendengarannya mulai terganggu ya?”
“Jaga bicaramu nduk. Tidak sepatutnya kamu bilang seperti itu kepada ayahmu sendiri.” Kata ibu sembari menamparku.
“Sudah, bu. Ara itu kan baru pulang. Tentu dia capai, letih, dan kedinginan. Tidak usah marah-marah seperti itu. Biarkan dia ganti baju dan shalat dulu.” Kata ayah.
Aku bergegas menuju kamar meninggalkan mereka berdua.
***
BRAKKKKK!!! DERRR!!! Kubanting keras-keras pintu kamarku. Aku terduduk di lantai kamar dengan air mata yang terus saja tak mampu terbendung di balik kelopak. Pertikaian yang masih melyang-layang dikepala. Kututup mulutku kuat-kuat dengan bantal. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Menangis sejadi-jadinya. Aku kesal. Aku marah.
Percakapan tadi tiba-tiba berkelebat lagi di kepala. Sungguh menyesal. Ara bodoh! Kututup telingaku dengan kedua tanganku lekat-lekat. Berharap tak mendengar apapun yang terngiang. “Kalau saja kecelakaan lima tahun silam tidak membuntungkan kaki kanan ayah. Kalau saja kecelakaan lima tahun silam tidak memutuskan daun telinga kanan ayah. Kalau saja waktu itu ayah tidak melihatku berada di bawah bianglala kala itu… ayah tidak akan kehilangan kaki kanannya, ayah tidak akan kehilangan daun telinga kanannya, dan aku tidak akan benci dengan ayah. Kalau saja… ayah tidak bodoh menyelamatkanku dari peristiwa itu… kalau saja… .” bisikku paada diriku sendiri, berandai dengan kata itu aku dapat menghentikan wktu atau bahkan mengembalikan waktu layaknya kemarin yang tak terjadi apa-apa.
“Dasar kurang ajar. Gak tahu sopan santun” teriak ibu kepadaku. Seperti mendengar laknat. Hatiku sesak mendengarnya. Kupukul-pukul dadaku. Harapkan sesak mereda. Kubentur-benturkan kepalaku. Harapkan benda yang bergelayut di kepalaku meringan. Tapi tidak. Dada ini semakin sesak dan kepala ini semakin berat. Aku tertidur.
***
Hari baru. Selayaknya mengawali dengan do’a dan pengharapan baru pula. Dan untuk semua pengharapan yang belum genap oleh nyata, semoga apa yang ku semogakan segera ‘tersemogakan’. Semoga. Semoga gundah yang bertengger semalam segera tak betah kemudian berpindah. Semoga cemas yang hinggap semalam segera pergi kemana entah terserah. Asal tak kembali dan semua menjadi baik-baik saja dan lebih terarah.
***
Tak seperti yang kubayangkan, waktu berlalu begitu cepat. Festival Gelar Karya yang telah ku nanti-nanti selama ini akhirnya tiba juga. Dan malam ini, akan ku hidupkan panggung Festival Rakyat yang tertidur selama lima tahun ini. ‘kuharap ayah tak datang’
“Ayo persiapkan dirimu. Ganti kostummu itu. 30 menit lagi kita akan tampil loh.” Kata Tania, sahabatku. Aku bergegas. Mengganti pakaianku.
***
Ternyata benar, sebuah rahasia tidak akan bertahan berlama-lama. Serapat mungkin aku menyimpannya dari ayah kalau aku akan pentas di Festival Rakyat tahun ini. Rupanya, ayah tahu juga. Di balik layar panggung ini kulihat ayah, ibu dan adikku sudah duduk di bangku paling depan. Dan dengan mata elang ayah, aku tahu, pasti ia tengah meniti satu persatu peserta di atas panggung mungkin untuk mencariku. Huffff!!!
Kutumpuk kedua tanganku diatas dada. Menarik napas panjang-panjang lalu menghempaskannya. Gugup. Bukan karena sebentar lagi aku akan tampil. Namun karena aku takut ayah akan bertindak memalukan ketika aku berada di panggung, meneriaki namaku dan mengaku-aku sebagai anaknya misalnya, meskipun itu memang benar. Membayangkannya ia bertindak seperti itu pun tiba-tiba semua menjadi sangat menyeramkan. Melambat.
Giliran aku dan teman-teman pentas memainkan teater tentang Matahari dan Bulan Yang Memperjuangkan Jumpa. “Semua akan baik-baik saja, Ara.. It’s okay!!” kataku pada diriku sendiri.
***
Semua sudah selesai. Aku dan teman-teman berhasil. Dan berjalan sesuai rencana. Tepuk tangan meriah itu sungguh memukau. Mengagumkan sekali. Sungguh mengagumkan.
Tak dinyana. Sesuatu yang sangat aku khawatirkan rupanya datang juga. Ayah, ibu dan adikku, Maera datang menghampiriku dan teman-teman ke ruang persiapan kelompok teaterku.
“Kak Ara… kakak cantik banget tadi.” Kata Maera, adikku.
“Selamat ya. Ayah suka sekali, nduk.” Ucap ayah sembari memberiku serangkai bunga dan hendak memelukku. Namun urung setelah ku seka tangannya.
Sungguh, aku benci sekali dengan sikap ayah terhadapku di depan teman-teman teaterku. Aku malu. Kulihat gurat kecewa dengan mata berkacanya ayah atas perlakuanku terhadapnya.
“Ayah ngapain sih ikutan kesini. Ara kan malu. Ibu kenapa ngajakin ayah kesini. Sudah Ara bilang, tidak usah repot-repot untuk datang.” Ujarku kesal.
“Apa salahnya kalau ayah ingin melihat anaknya tampil di panggung yang hebat itu?” jawab ibu.
“Ibu…. Ara malu dengan teman-teman. Bagaimana kalau nanti tidak ada yang mau berteman dengan Ara kalau melihat ayah yang seperti monster ini?”
“Jaga bicaramu, nduk. Beliaukan ayahmu juga.”
“Iya, tapi Ara gak mau punya ayah yang cacat seperti ini.” Kataku tak dapat menahan emosi.
PLAK! Sejurus, tamparan ibumendarat di pipiku. Beberapa kali, aku pernah di tampar oleh ibu. Namun entah kenapa, sebelumnya tak pernah sesakit ini. Aku hendak menangis, namun aku malu dengan teman-temanku.
“Astaghfirullahal’adzim, Ara.” Celetuk beberapa teman teaterku yang berada di dalam ruangan.
“Ra, kok kamu gak sopan gitu dengan ayahmu sendiri? Biarpun ayahmu seperti itu, dia tetap ayahmu.” Timpal yang lain.
Sungguh, aku semakin malu. Aku tak kuat menahan tangis. Bergegas keluar dari ruangan dan segera pulang.
***
 Kau tahu rasanya kecewa? Seperti kamu di terbangkan tinggi-tinggi lalu kamu di jatuhkan dengan-dan tanpa ba-bi-bu. Itu pasti hambar dan menyebalkan bukan? Menyedihkan, memang. Namun bagi kamu yang terlalu sering mendapati kecewa,  mungkin saja kamu tak akan berkecil hati begitu menerimanya. Baiklah, kamu yang seperti itu merupakan manusia yang beruntung. Karena kamu memiliki sebuah hati yang kebal dengan rasa yang sejatinya tak pernah lepas dari setiap yang bernapas; Kecewa.
Pun dengan harapan yang selalu berdampingan dengan kecewa. Dia adalah sebuah ingin bermohon dapat. Pabila kamu telah berhadapan dengan dia, dan yang kamu dapati malah kecewa, kamu pasti merasakan bagaimana kamu diperlakukan malang. Kecuali bagi kamu pememiliki hati yang lapang dan berbesar sabar. Baiklah aku katakan sekali lagi. Kamu adalah manusia pilihan yang telah ditentukan oleh alam. Kamu mungkin akan berpikir darimana aku bisa tahu semua itu. Tentu saja aku tahu. Karena aku adalah bagian dari manusia-manusia itu. Menelan riang sebuah harap yang kemudian berujung kecewa. Namun sayang, aku kira aku belum termasuk dalam kategori manusia pilihan alam yang kusebutkan tadi.
Aku pernah kecewa. Karena aku pernah dan bahkan sering menyelaminya. Aku tahu sebab dari persoalan itu, semua karena akuterlalu berharap pada sesuatu yang sebenarnya tak kuketahui apakah akan aku dapat. Bukankah seperti itu? Aku mendapatti sebuah kecewa tidak lain melainkan aku terlalu berharap? Seimbang.
“Ayah boleh masuk, nduk?” katanya dibalik pintu kamarku.
“Masuk saja. Tidak di kunci.” Jawabku malas. Masih menangis. Tengkurap.
“Ara masih marah ya?” tanyanya sembari terpogoh menuju tempat tidurku. Kemudian mengusap rambut ikalku.
Hening. Biarlah hening. Tak perlu kujawab ayah juga pasti akan tahu apa jawabannya. Tentu saja masih marah. Kejadian tadi cukup membuatku malu tak karuan di hadapan teman-temanku. Bagiku, ayah sudah terlalu keterlaluan. Batinku dalam hati.
“Ara, boleh ayah bertanya sesuatu?” sambungnya. Aku masih terdiam.
“Ayah tidak tahu, semenjak peristiwa lima tahun silam nampaknya Ara sangat membenci ayah. Tidak sedikitpun kamu memberi kesempatan kepada ayah untuk berbicara kepada kamu. Ara malu ya melihat keadaan ayah yang seperti ini?” lanjutnya. Masih ku jawab dengan hening.
“Maafkan ayah, sebab ayah belum dapat menjadi ayah yang baik, yang sesuai dengan apa yang kau harapkan. Maafkan ayah, sebab ayah berkali-kali membuatmu malu dan kecewa di hadapan teman-temanmu. Maafkan ayahmu ini. Ayah hanya mencoba menjadi ayah yang baik semampu ayah.
Nduk, ayah tahu kamu membenci ayah. Tapi sesekali, tolong lihatlah ayah dari sisi ayah pula, bukan dari sisimu saja. Orang bilang, kala kebencian merasuki jiwa, sesuatu yang seharusnya terlihat indah seketika akan menjadi sangat buruk. Cobalah buka hatimusedikit dan beri ayah kesempatan untuk menjadi ayah yang baik buat kamu.”
Dadaku sesak mendengar ayah berkata seperti  itu. Entah kenapa, baru saja seperti ada yang menuangkan cuka dilukaku yang masih basah. Perih. Tapi… entah kenapa aku berpikiran kalau luka ini tak sebanding dengan luka yang kugoreskan terhadap ayah selama ini. Lalu, apa bedanya natara kau dan kacang yang lupa dengan kulitnya?
“Baiklah. Sepertinya kamu sudah mengantuk. Ayah tidak akan menganggu istirahatmu.” Beranjak keluar.
“Ayah…” panggilku. Hatiku luluh dan sakit mendengar ayah berbicara seperti itu. Memang seharusnya aku tidak berlaku seperti itu terhadap ayah. Apa salah ayah sampai aku harus membencinya?
“Maafkan Ara. Bukan salah ayah. Semua ini salah Ara. Bukan salah ayah.” Tangisku meledak. Aku tidak kuat lagi menahan bendung air mata ini. Lalu, seketika semua tumpah di pelukan ayah. Hey, ini hangat sekali. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan seperti ini di pelukan ayah.
“Ara tidak membenci ayah. Ara benci dengan diri Ara sendiri. Bukan dengan ayah.” Kataku terbata.
“Sebab karena Ara, ayah menjadi seperti ini. Semua gara-gara Ara ayah seperti ini. Kalau saja waktu itu ayah tidak menyelamatkan Ara dari kecelakaan lima tahun silam, mungkin ayah tidak akan menjadi seperti ini, ayah tidak akan kehilangan kaki kanan ayah. Kalau saja waktu itu ayah tidak datang menyelamatkan Ara, ayah tidak akan seperti ini. Kalau saja…”
“Dengan kalau saja-kalau saja mu itu tidak akan mengembalikan semuanya menjadi seperti semula, Nak. Kau tahu? Menerima sesuatu yang tidak kita kehendaki adalah bagian dari rukun iman yang ke enam. Bukankah di sekolah Ara sudah pernah di ajarkan enam rukun iman itu?” jelas ayah memutus kelakarku. Aku mengangguk.
“Nak…. Mungkin kita tidak pernah mengerti hakikat menerima, melepaskan, dan mengikhlaskan apabila kita terus-menerus mengurung diri dari rasa bersalah tidak terima dengan ketentuan yang telah Allah takdirkan untuk kita. Ara mau menjadi orang beriman kan?” aku mengangguk lagi.
“Tidak semua yang kita ingin akan kita dapat. Alllah selalu memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan. Apa yang di kata Allah? Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia baik bagi kalian dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu padahal ia buruk bagi kalian. Dan Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui (Al Baqarah, 216.) Namun mungkin kita sering kehilangan arah ketika apa yang kita ingin tidak kita dapati. Lalu kita menyalahkan keadaan kalau yang kita dapati tak sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Meronta-ronta menghardik waktu dan bahkan sampai menyumpah serapahinya yang sejatinya dia hanya melaksanakan tugas saja. Kemudian bingung lagi mencari arah untuk berjalan. Dan marah-marah lagi kalau yang didapati adalah tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kadang, pelajaran berharga iru seringkali kita resapi dari apa yang telah berlalu. Sudah seharusnya kejadian ini membuat kita lebih berpikir dan lebih paham dalam menjalani kehidupan ini. Ara sudah semakin dewasa, pasti Ara tahu apa yang harus Ara lakukan.
“Ayah seperti ini, yasudah. Memang ini yang terbaik bagi ayah. Tidak ada yang harus disalahkan. Allah sudah menggariskan seperti ini. Tidak perlu marah apa lagi kecewa. Tugas kita cukup rela, mengikhlaskan dan menerima saja. Sudah. Tidak perlu ada yang disalahkan. Maafkan dirimu sendiri. Allah lebih tahu.” Lanjutnya.
***
Malam itu aku seperti menemukan sesuatu yang selama ini tak pernah ketemu. Meskipun ku cari-cari sejauh apapun itu, pantas saja tak ketemu kalau rupanya jawabannya berada pada ayahku sendiri. Aksara yang hilang, kini aku menemukannya.
Ayah benar, kalau aku masih marah dengan takdir-Nya. Selamanya aku tidak akan menjadi orang yang beriman. Ayah benar, apabila aku masih mengurung diri dari salah menyalahkan dan tidak ikhlas dengan pemberian-Nya, mungkin aku tak akan pernah mengerti hakikat menerima, melepaskan dan mengikhlaskan.
Aksara yang hilang itu sudah di ketemukan. Rupanya, semua hanya soal menerima, melepaskan, dan mengikhlaskan. (Humaida Fatwati)


0 komentar:

Posting Komentar

 

terimakasih atas kunjungannya

we love palestina

Lambang LDK

hubungi kami di:

Jl. Tentara Pelajar No. 2 gedung A, Lt. I kampus I STAIN Salatiga 50721
Phone: 085744479682
E-mail: ldkdarulamal.stainsltg@gmail.com
FB: LDK Darul Amal STAIN Salatiga "