MEMBAWA INDAHNYA RAMADHAN SEPANJANG TAHUN
Oleh: Tri Wahyu Hidayati
Telah hampir satu bulan ini Ramadhan berlalu dari kehidupan
orang mu’min, berganti dengan bulan Syawal. Ramainya pasar dan mal menampung
orang yang sibuk berbelanja telah mulai reda. Hiruk pikuk lalu lintas arus
balik dan mudik-pun telah usai. Pos-pos keamanan yang sengaja digelar oleh
kepolisian dan swasta juga telah usai. Secara perlahan tapi pasti,umat Islam
Indonesia kembali pada pola sebelum Ramadhan dan Syawal.
Itulah Ramadhan bulan yang istimewa dan indah. Bahkan seandainya manusia
mengetahui keindahan Ramadhan
itu, maka setiap orang akan berharap bahwa sepanjang tahun itu adalah Ramadhan
(HR. Thabrani). Nah... ketika Ramadhan telah pergi, agar hikmah dan indahnya
Ramadhan menyatu dalam hidup manusia sepanjang tahun, baiknya kita merenung.
Apakah hikmah puasa telah kita peroleh? Apakah kita telah menjadi pribadi yang
lebih baik setelah dilatih selama satu bulan penuh? Apakah kita menjadi pribadi
yang lebih takut pada Allah dalam keadaan apapun? Apakah kita menjadi orang
dengan belas kasih dan empati pada sesama? Apakah kita bisa mewujudkan
kedamaian dalam kehidupan?
Di bulan Ramadhan, orang-orang mu’min berpuasa, menahan lapar dan
dahaga dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Tidak ada orang lain yang
mengetahui kebenaran seseorang berpuasa atau tidak, kecuali dirinya dan Allah.
Artinya, orang yang berpuasa dilatih untuk jujur dan takut pada Allah, baik
ketika sendiri atau bersama orang lain. Dengan demikian puasa Ramadhan melatih
seseorang untuk selalu merasa dalam pengawasan Allah. Selanjutnya ketika
seseorang selalu merasa dalam pengawasan Allah, maka dia tidak akan berani
melakukan hal-hal yang melanggar aturan Allah. Kalau demikian adanya, seorang
pemimpin tidak berani untuk menyelewengkan kekuasaannya, tidak berani korupsi.
Dengan demikian nampaklah betapa hebatnya efek puasa Ramadhan bagi hidup
seorang mu’min, karena dia akan betul-betul menjiwai bahwa apapun yang
dilakukan, apapun yang diucapkan, baik maupun buruk, selalu ada di sisinya
malaikat pengawas yang selalu siap mencatat (QS. Qaf: 18).
Orang yang berpuasa menahan diri tidak makan dan minum, meski dia mampu
untuk membelinya, atau mengambilnya dari dari meja makan di rumahnya. Pelajaran
ini bisa diterapkan dalam hidup
keseharian di luar bulan Ramadhan. Meski seseorang mampu menyediakan makanan
enak dan beragam, dia juga harus bisa menahan diri. Yang penting kebutuhan
pokok tubuhnya telah terpenuhi, maka dia akan berhenti, tidak akan berlebihan
(QS al-A’raf: 31). Berlebihan dalam mengkonsumsi makanan dan minuman akan
berakibat tidak baik pada kesehatan. Obesitas dan dampak ikutannya seperti
penyakit kencing manis, akan mendatangkan masalah yang serius bagi
seseorang.
Seseorang yang berpuasa harus menahan diri untuk bisa menjaga hati dan
anggota tubuhnya agar tidak menyakiti orang lain. Dia juga harus menahan diri
untuk tidak riya’, ghibah, namimah, karena itu akan mengurangi pahala
puasa. Dia akan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, dan menggantinya
dengan amal shalih. Semangat seperti ini layak untuk diteruskan sepanjang
tahun, tidak hanya di bulan Ramadhan, maka dia akan menjadi orang mu’min yang
akan menemukan keberuntungan dalam hidupnya (QS al-Mu’minun:1-3). Itulah kunci
kesuksesan hidup, mampu menahan diri. Kemampuan untuk menahan diri penting bagi
hidup manusia.
Seseorang yang mendapatkan
amanah menjadi pemimpin, dia harus menjaga dan menunaikannya dengan baik. Dia tidak
boleh hanya memikirkan keuntungan pribadinya saja, namun sebaliknya dia harus
memikirkan kesejahteraan dan kemajuan orang-orang yang dipimpinnya. Dia harus
bisa menahan diri untuk tidak mengambil keuntungan yang bukan haknya, meski itu
bisa dilakukan dengan kedudukan yang disandangnya. Dia harus menahan diri untuk
tidak korupsi, meski mungkin dia
mengetahui liku-liku jalannya keuangan dan celah yang bisa dimanfaatkan. Bila
demikian adanya, alangkah indahnya kehidupan manusia. Seperti bangsaIndonesia,
dengan berkah kekayaan alam yang melimpah, mestinya rakyat hidup sejahtera. Itu
akan terjadi bila para pemimpinnya amanah, menahan diri untuk tidak bertindak
demi kepentingannya sendiri. Maka bukan suatu yang mustahil, Indonesia akan
menjadi negeri impian, pemimpin peduli pada rakyatnya, rakyat taat pada
pemimpinnya, dan hidup sejahtera dalam lindungan dan ampunan Allah, baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur (QS Saba’: 15).
Orang yang memiliki harta yang melimpah juga harus bisa menahan diri.
Menahan diri untuk tidak terlena dengan kemewahan yang dimiliki, meski dia
memperoleh harta tersebut dengan usahanya sendiri. Karena dia akan ingat
peringatan Allah di surat at-Takatsur (1-2), bahwa bermegah-megahan telah
melalaikan manusia sampai dia masuk ke liang kubur. Dengan pengendalian diri
yang bagus, orang kaya tidak hanya sibuk
menghitung kekayaannya. Dia juga sadar betul bahwa kekayaannya tidak akan
membuat dia langgeng (QS al-Humazah 1-3). Sebaliknya dengan kekayaan yang
melimpah dia bisa menanam kebaikan, dengan menginfakkan sebagian hartanya di
jalan Allah, yang pasti akan dipanen
dengan hasil yang berlipat ganda nanti di akhirat (QS al-Baqarah:261-262).
Puasa Ramadhan melatih seorang mu’min untuk disiplin mengatur waktu.
Kapan harus berhenti makan dan minum,dan kapan waktu berbuka, semuanya ditaati.
Tidak ada yang berani melanggarnya meski lima menit. Pola yang telah teratur,
disiplin ketat selama sebulan penuh, seharusnya berbekas pada pribadi setiap
mu’min yang telah menjalani puasa Ramadhan. Disiplin waktu akan merembet dalam
seluruh aspek kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Dalam
kehidupan pribadi, seseorang menjadi tertib dalam shalat, belajar dan kegiatan
lain. Dalam kehidupan sosial, kedisiplinan akan meningkatkan efektifitas dan
efisiensi dalam bekerja. Bila demikian adanya, maka istilah jam karet tidak
lagi terjadi. Tidak banyak waktu terbuang, karena saling tunggu akibat
ketidaksiplinan dalam menepati jadwal yang sudah ditetapkan. Orang-orang mu’min
akan meningkat produktivitasnya, karena disiplin dalam bekerja. Alangkah
indahnya, peringatan Allah tentang pentingnya waktu, sampai Allah bersumpah dengan waktu (QS al-’Ashr:1).
Puasa mengajarkan persamaan umat di hadapan Allah. Tidak ada perbedaan,
kaya-miskin, orang berpangkat-rakyat biasa, kulit hitam-putih, laki-laki-
perempuan, semua sama merasakan lapar dan dahaga, taat pada ketentuan Allah,
menepati jadwal kapan waktu imsak dan datangnya waktu berbuka puasa.
Yang membedakan di antara mereka hanya hanya kualitas puasa, yang hanya
diketahui oleh orang yang bersangkutan dan Allah saja. Hal ini sesuai dengan
sabda Nabi Muhammad ”ash-shaumu lii
wa ana ajzii bihi”. Seorang yang berpangkat tinggi, tidak akan mendapatkan
kemuliaan di sisi Allah, bila puasanya bolong-bolong. Sebaliknya, seorang yang
tidak berpangkat bisa meraih kemuliaan di sisi Allah, bila puasanya sempurna.
Demikian inilah gambaran sesungguhnya, kemuliaan seseorang tidak ditentukan
oleh pangkat, harta, rupa wajah, suku bangsa, namun kemuliaan hidup diraih
karena derajat ketakwaannya (lihat QS al-Hujurat:13). Bila kesadaran tentang
persamaan kedudukan manusia di hadapan Allah telah mewujud dalam pribadi
masing-masing individu, maka tidak akan ada penjajahan, perbudakan, atau
tindakan diskriminatif. Manusia akan hidup dalam kedamaian dan keadilan.
Puasa mengajarkan rasa welas asih pada sesama. Hal ini berawal
dari rasa lapar dan dahaga yang dirasakan oleh orang yang berpuasa. Rasa lapar
dan dahaga inilah yang dirasakan setiap hari oleh orang-orang miskin. Ketika
merasakan sebuah keadaan yang tidak nyaman inilah, kemudian akan memunculkan
rasa empati pada orang papa, orang yang hidup kekurangan, yang tentu
penderitaannya lebih dari sekedar lapar dan dahaga, mungkin juga tidak memiliki tempat tinggal. Rasa
empati ini akan melahirkan rasa sayang dan menggerakkan hatinya untuk peduli
pada hidup orang miskin. Maka kemudian muncul kesadaran untuk berbagi, misalnya
menjadi orang tua asuh bagi pendidikan anak-anak tidak mampu, menjadi donatur
untuk panti asuhan, dan berbagai jenis kegiatan amal lainnya. Bila demikian
adanya, berbagai persoalan yang membelit bangsa ini akibat kemiskinan, sedikit
demi sedikit akan teratasi. Kekayaan tidak hanya berputar di antara orang kaya,
sebagaimana harapan al-Quran surat al-Hasyr ayat 7. Kemakmuran tidak hanya
terjadi pada sebagian golongan, kesejahteraan tidak hanya terjadi di kota-kota
besar. Namun sebaliknya, kesejahteraan dan keadilan dirasakan bersama oleh
seluruh bangsa Indonesia, seperti keinginan luhur pendiri negara ini yang
tercantum dalam Pancasila sila ke 5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Keindahan Ramadhan yang lain adalah bulan dimana Allah menurunkan
al-Qur’an, kitab pedoman hidup manusia untuk membedakan antara yang haq
dan yang bathil. Diturunkannya al-Qur’an pada suatu malam yang diberkahi
(QS ad-Dukhan: 3), malam yang penuh kemuliaan (lailatul qadr).
Kemuliaannya digambarkan oleh Allah lebih baik dari seribu bulan (QS
al-Qadr:1-3). Inilah yang banyak diburu oleh pribadi-pribadi yang telah terseleksi
keistiqamahannya sejak awal Ramadhan, kemudian meningkat terus sampai sepuluh
akhir bulan Ramadhan. Itu semuanya tentu tidak dapat dipeoleh dengan instan,
tanpa melalui keistiqamahan sejak awal Ramadhan. Hanya orang-orang terpilih
yang telah terseleksi, karena secara fisik kondisi orang-orang yang berpuasa
telah mulai menurun. Hal ini juga terlihat dari jumlah shaf shalat
tarawih di masjid atu mushalla yang makin hari terlihat makin maju, jamaahnya
makin sedikit. Bahkan sebagian orang, menghabiskan malam-malam akhir Ramadhan
dengan sibuk berbelanja pernik-pernik lebaran dan baju baru. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh pusat perbelanjaan besar seperti Matahari dengan menggelar Great
Sale, discount besar-besaran, yang makin menggoda keinginan seseorang
untuk shopping. Kondisi tersebut paradoks dengan anjuran Nabi Muhammad
untuk mengencangkan ikat pinggang, menyingsingkan baju untuk berpacu berlomba
meningkatkan amal shalih. Nabi Muhammad menganjurkan untuk bersungguh-sungguh
meningkatkan amal shalih di akhir Ramadhan agar dapat meraih kemuliaan yang
dijanjikan, yaitu lailatul qadr, tanpa menyebut saat yang pasti kapan
terjadinya. Ini mengandung pelajaran besar bahwa kesuksesan tidak akan datang
dengan sendirinya, namun melalui usaha berpeluh keringat (sejalan dengan firman
Allah surat ar-Ra’d: 11). Gelar kesarjanaan dengan nilai cumlaude tidak
akan diraih hanya dengan leha-leha ,kesuksesan harus diperjuangkan.
Itulah sebagian keindahan Ramadhan, yang seharusnya membekas pada pada
diri oarang-orang yang menjalankan puasa Ramadhan dan mengisi Ramadhan dengan
amal shalih. Nilai-nilai penting yang bisa diambil dari indahnya bulan
Ramadhan, di antaranya adalah muraqabah (merasa dalam pengawasan Allah),
pengendalian diri, kedisiplinan, persamaan sesama manusia, cinta kasih dan etos
kerja. Apabila nilai-nilai tersebut mampu dibawa dan diterapkan sepanjang
tahun, maka akan melahirkan pribadi-pribadi yang hebat, yang tangguh dalam
menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Hikmah
terbesar puasa Ramadhan adalah agar
pelakunya menjadi orang yang bertakwa (hal ini sejalan dengan firman Allah
dalam al-Qur’an surat al-Baqarah: 183). Bila penduduk suatu negeri adalah
insan-insan bertakwa itu, maka niscaya Allah akan menurunkan keberkahan di
negeri tersebut (QS al-A’raf: 96). Amiin.
Wa Allahu a’lamu bish-shawab
0 komentar:
Posting Komentar