6/12/2013

Mengapa Harus Mencontek?

Mengapa Harus Mencontek?
Oleh Widi Utami

Seorang siswa SMA di sekolah favorit Salatiga tiga tahun yang lalu lulus UN. Terlihat sangat biasa saja. Biasa, sebab dia tergolong anak yang cerdas. Biasa, sebab dia tergolong anak yang rajin.  Hampir setiap hari dia terlihat menekuni lembar-lembar buku di sela-sela aktivitasnya. Biasa, sebab dia sekolah di sekolah favorit yang bagi kebanyakan orang adalah sekolahnya anak-anak dengan otak yang super cemerlang.
Lain halnya untuk orang-orang yang mengenalnya. Bagi mereka, lulusnya anak ini membawa sensasi tersendiri karena dia seorang anak tuna rungu parsial. Dia tidak mampu menangkap pesan suara. Soal UN listening pada mata ujian bahasa Inggris sebanyak 15 soal mutlak tak bisa dikerjakan.  Sayangnya, kebanyakan dari orang  yang mengenalnya hanya menganggap ini adalah faktor keberuntungan belaka.
 Bersama gurunya ia mencari keringanan agar diperbolehkan untuk lypsing. Saat uji coba lypsing, ia mampu menjawab 5 soal yang diujicobakan dengan benar. Namun permohonan itu ditolak sebab harus melalui proses yang sangat panjang sampai diknas pusat. Anak itu sempat limbung, menceracau tidak jelas di jejaring sosial. Gurunya terpaksa meminta anak itu menjawab dengan random. Pilihan terakhir yang membuatnya down.
Ada orang iseng yang menyuruh dia mencontek teman-temannya. Namun dia selalu teringat dengan nasehat guru-gurunya, dhawuh kyainya. Tegakah membalas hasil keringat ayah dengan selembar ijazah yang didapatkannya dengan cara yang haram? Ayahnya seorang buruh harian, yang setiap hari harus memanggul berkwintal karung.  Guru-gurunya di sekolah tak seorang pun yang ridho dia mencontek. Dengan dorongan orang sekelilingnya, dia memaksakan diri untuk fokus ke mata ujian yang lain. Fokus mengasah dua senjata lainnya, writing dan reading seperti yang dia lakukan selama ini.
Kelulusan anak itu membuat orang-orang tersenyum lega, nilai UN bahasa Inggrisnya 7.2 dengan 15 soal mutlak dijawab random. Namun, tak banyak yang menyadari apa yang dipikirkannya. Ia menolak untuk mencontek satu biji soal pun. Rata-rata orang menganggap bahwa dia terlalu sombong.
Baiklah, anak itu tuli parsial. 15 soal mutlak tak ada harapan untuk bisa dijawab. Tak ada harapan untuk mempelajari, sebab tes audio menjawab bahwa frekuensi pendengarannya rendah dengan grafik yang sangat fluktuatif. Dia hanya mengandalkan 35 soal tersisa. Mempelajari apa yang bisa dia pelajari. Jungkir balik mengusir bayangan tentang listening yang disebutnya hantu. Sempat berfikir untuk mengundurkan diri dan masuk ke SLB.
Sementara, anak-anak normal yang lain, yang barangkali tak punya kekurangan seperti anak tunarungu parsial ini, dengan mudahnya mencontek. Parahnya ada oknum guru yang mendukung tindakan memalukan ini. Padahal mereka masih punya harapan untuk mempelajari soal demi soal. Mengasah kemampuan dengan belajar yang lebih tekun lagi.
Semua orang tahu jika mencontek adalah perbuatan curang. Sayangnya banyak yang bermental tempe dengan membiarkan anak-anak mencontek. Bahkan dari berita-berita yang selalu menghiasi media saat musim UN, ditemukan oknum guru yang turut berkecimpung dalam lembah contek-mencontek ini. Bisa dibilang, setiap ujian berlangsung ada saja praktik mencontek dari peserta ujian. Tidak peduli apakah di perguruan tinggi ataukah di sekolah dasar.
Ada orang berpendapat bahwa mencontek dilakukan karena suka sama suka. Lantas, apakah ini bisa digunakan sebagai alasan untuk menghalalkan mencontek? Sama saja ketika kita bertanya, apakah zina yang dilakukan suka sama suka akan melunturkan haramnya zina?
Jika kita melihat dengan mata yang lebih jeli, mencontek telah menciptakan budaya yang sangat buruk. Plagiasi di dunia kepenulisan marak belakangan ini, larisnya order tukang membuat skripsi, hingga yang paling dekat dengan penulis saat ini; mendownload makalah di internet untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah karena tidak mau repot-repot mencari referensi di perpustakaan. Download, ganti halaman sampul, print, jilid, kumpulkan, selesai. Hal ini akan semakin parah jika dosen mata kuliah bersangkutan cenderung masa bodoh dengan makalah yang disusun mahasiswanya.
Mencontek membuat anak tidak mau berpikir lebih dalam tentang suatu masalah. Kebiasaan mencontek akan terbawa ke dalam keseharian, mereka akan cenderung kurang kreatif, ikut-ikutan, tidak kuat memegang prinsip karena terbiasa menelan mentah-mentah hasil contekan tanpa tahu apakah itu benar atau salah.
Ketidak mau tahuan, e-ge-pe, begitu anak-anak sekarang menyebutnya, bisa membentuk mental yang lemah. Mental lari dari masalah, cenderung mengambil jalan pintas karena tidak tahu seninya menyelesaikan masalah. Terbiasa mencontek ketika mentok tidak bisa menjawab--padahal rata-rata tidak bisa menjawab karena belum belajar--, bisa dibilang akan membentuk mental lari dari masalah. Jika tidak bisa mengerjakan soal, mencontek sajalah. Jika tak berani menyelesaikan masalah, lari sajalah. Jika tertekan dengan target, cukup sampai disini sajalah perjuangannya. Yang ada di otak, tak mau menghadapi masalah, namun lari saja dari mereka. Bahkan bisa jadi hanya karena gagal meraih impian, bunuh diri jadi andalan.
Keberkahan hidup pun layak kita renungi. Selembar kertas bernama ijazah akan terus digunakan bagi kebanyakan orang. Ijazah akan digunakan untuk mendaftar kerja, menjemput rezeki. Jika ijazah kita—katakanlah, haram karena proses pemerolehannya yang tidak benar, maka, gampangnya rezeki yang kita peroleh pun diragukan keberkahannya.
Bahaya mencontek yang laksana gunung es ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Kita perlu mengubah mindset bahwa mencontek bukan alternatif terakhir. Mencontek yang seolah-olah menjadi budaya di negeri ini harus dipatahkan. Selama kita tidak mempunyai alasan untuk tidak bisa mempelajari seperti belajar mendengar bagi tunarungu, belajar bicara bagi tunawicara, belajar melihat warna pelangi bagi anak tunanetra, kita masih punya harapan untuk mempelajari segala hal. Jika ada 5 dari 40 soal yang mentok tidak bisa mempelajari sampai jungkir balik, masih ada 35 soal  yang masih bisa ditekuni.
Widi Utami

Mahasiswa Tarbiyah STAIN Salatiga. Bergabung di komunitas online PNBB.  Sedang merintis Komunitas peduli anak, Taman Tauhid, bersama teman-teman di Salatiga

0 komentar:

Posting Komentar

 

terimakasih atas kunjungannya

we love palestina

Lambang LDK

hubungi kami di:

Jl. Tentara Pelajar No. 2 gedung A, Lt. I kampus I STAIN Salatiga 50721
Phone: 085744479682
E-mail: ldkdarulamal.stainsltg@gmail.com
FB: LDK Darul Amal STAIN Salatiga "