Mengapa
Harus Mencontek?
Oleh Widi
Utami
Seorang siswa SMA di sekolah favorit Salatiga tiga tahun yang lalu
lulus UN. Terlihat sangat biasa saja. Biasa, sebab dia tergolong anak yang
cerdas. Biasa, sebab dia tergolong anak yang rajin. Hampir setiap hari dia terlihat menekuni
lembar-lembar buku di sela-sela aktivitasnya. Biasa, sebab dia sekolah di
sekolah favorit yang bagi kebanyakan orang adalah sekolahnya anak-anak dengan
otak yang super cemerlang.
Lain halnya untuk orang-orang yang mengenalnya. Bagi mereka, lulusnya anak
ini membawa sensasi tersendiri karena dia seorang anak tuna rungu parsial. Dia
tidak mampu menangkap pesan suara. Soal UN listening pada mata ujian bahasa
Inggris sebanyak 15 soal mutlak tak bisa dikerjakan. Sayangnya, kebanyakan dari orang yang mengenalnya hanya menganggap ini adalah
faktor keberuntungan belaka.
Bersama gurunya ia mencari
keringanan agar diperbolehkan untuk lypsing. Saat uji coba lypsing, ia mampu
menjawab 5 soal yang diujicobakan dengan benar. Namun permohonan itu ditolak sebab
harus melalui proses yang sangat panjang sampai diknas pusat. Anak itu sempat
limbung, menceracau tidak jelas di jejaring sosial. Gurunya terpaksa meminta
anak itu menjawab dengan random. Pilihan terakhir yang membuatnya down.
Ada orang iseng yang menyuruh dia mencontek teman-temannya. Namun dia
selalu teringat dengan nasehat guru-gurunya, dhawuh kyainya. Tegakah membalas
hasil keringat ayah dengan selembar ijazah yang didapatkannya dengan cara yang
haram? Ayahnya seorang buruh harian, yang setiap hari harus memanggul
berkwintal karung. Guru-gurunya di
sekolah tak seorang pun yang ridho dia mencontek. Dengan dorongan orang
sekelilingnya, dia memaksakan diri untuk fokus ke mata ujian yang lain. Fokus
mengasah dua senjata lainnya, writing dan reading seperti yang
dia lakukan selama ini.
Kelulusan anak itu membuat orang-orang tersenyum lega, nilai UN bahasa
Inggrisnya 7.2 dengan 15 soal mutlak dijawab random. Namun, tak banyak yang
menyadari apa yang dipikirkannya. Ia menolak untuk mencontek satu biji soal
pun. Rata-rata orang menganggap bahwa dia terlalu sombong.
Baiklah, anak itu tuli parsial. 15 soal mutlak tak ada harapan untuk
bisa dijawab. Tak ada harapan untuk mempelajari, sebab tes audio menjawab bahwa
frekuensi pendengarannya rendah dengan grafik yang sangat fluktuatif. Dia hanya
mengandalkan 35 soal tersisa. Mempelajari apa yang bisa dia pelajari. Jungkir
balik mengusir bayangan tentang listening yang disebutnya hantu. Sempat
berfikir untuk mengundurkan diri dan masuk ke SLB.
Sementara, anak-anak normal yang lain, yang barangkali tak punya
kekurangan seperti anak tunarungu parsial ini, dengan mudahnya mencontek.
Parahnya ada oknum guru yang mendukung tindakan memalukan ini. Padahal mereka
masih punya harapan untuk mempelajari soal demi soal. Mengasah kemampuan dengan
belajar yang lebih tekun lagi.
Semua orang tahu jika mencontek adalah perbuatan curang. Sayangnya
banyak yang bermental tempe dengan membiarkan anak-anak mencontek. Bahkan dari
berita-berita yang selalu menghiasi media saat musim UN, ditemukan oknum guru
yang turut berkecimpung dalam lembah contek-mencontek ini. Bisa dibilang,
setiap ujian berlangsung ada saja praktik mencontek dari peserta ujian. Tidak
peduli apakah di perguruan tinggi ataukah di sekolah dasar.
Ada orang berpendapat bahwa mencontek dilakukan karena suka sama suka.
Lantas, apakah ini bisa digunakan sebagai alasan untuk menghalalkan mencontek?
Sama saja ketika kita bertanya, apakah zina yang dilakukan suka sama suka akan
melunturkan haramnya zina?
Jika kita melihat dengan mata yang lebih jeli, mencontek telah
menciptakan budaya yang sangat buruk. Plagiasi di dunia kepenulisan marak
belakangan ini, larisnya order tukang membuat skripsi, hingga yang paling dekat
dengan penulis saat ini; mendownload makalah di internet untuk memenuhi tugas
makalah mata kuliah karena tidak mau repot-repot mencari referensi di
perpustakaan. Download, ganti halaman sampul, print, jilid, kumpulkan, selesai.
Hal ini akan semakin parah jika dosen mata kuliah bersangkutan cenderung masa
bodoh dengan makalah yang disusun mahasiswanya.
Mencontek membuat anak tidak mau berpikir lebih dalam tentang suatu
masalah. Kebiasaan mencontek akan terbawa ke dalam keseharian, mereka akan cenderung
kurang kreatif, ikut-ikutan, tidak kuat memegang prinsip karena terbiasa
menelan mentah-mentah hasil contekan tanpa tahu apakah itu benar atau salah.
Ketidak mau tahuan, e-ge-pe, begitu anak-anak sekarang menyebutnya,
bisa membentuk mental yang lemah. Mental lari dari masalah, cenderung mengambil
jalan pintas karena tidak tahu seninya menyelesaikan masalah. Terbiasa
mencontek ketika mentok tidak bisa menjawab--padahal rata-rata tidak bisa
menjawab karena belum belajar--, bisa dibilang akan membentuk mental lari dari
masalah. Jika tidak bisa mengerjakan soal, mencontek sajalah. Jika tak berani
menyelesaikan masalah, lari sajalah. Jika tertekan dengan target, cukup sampai
disini sajalah perjuangannya. Yang ada di otak, tak mau menghadapi masalah,
namun lari saja dari mereka. Bahkan bisa jadi hanya karena gagal meraih impian,
bunuh diri jadi andalan.
Keberkahan hidup pun layak kita renungi. Selembar kertas bernama ijazah
akan terus digunakan bagi kebanyakan orang. Ijazah akan digunakan untuk
mendaftar kerja, menjemput rezeki. Jika ijazah kita—katakanlah, haram karena
proses pemerolehannya yang tidak benar, maka, gampangnya rezeki yang kita
peroleh pun diragukan keberkahannya.
Bahaya mencontek yang laksana gunung es ini tidak bisa dipandang
sebelah mata. Kita perlu mengubah mindset bahwa mencontek bukan alternatif
terakhir. Mencontek yang seolah-olah menjadi budaya di negeri ini harus
dipatahkan. Selama kita tidak mempunyai alasan untuk tidak bisa mempelajari
seperti belajar mendengar bagi tunarungu, belajar bicara bagi tunawicara,
belajar melihat warna pelangi bagi anak tunanetra, kita masih punya harapan
untuk mempelajari segala hal. Jika ada 5 dari 40 soal yang mentok tidak bisa
mempelajari sampai jungkir balik, masih ada 35 soal yang masih bisa ditekuni.
Widi Utami
Mahasiswa Tarbiyah STAIN Salatiga. Bergabung di komunitas online
PNBB. Sedang merintis Komunitas peduli
anak, Taman Tauhid, bersama teman-teman di Salatiga
0 komentar:
Posting Komentar